PERKEMBANGAN HUKUM
HAK ASASI MANUSIA DALAM LINTAS SEJARAH KONSTITUSI INDONESIA (UUD 1945 SEBELUM
AMANDEMEN, UUD RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Manusia dilahirkan dengan harkat dan
martabat yang melekat sejak dari dalam kandungan, kelahiran, sampai setelah
meninggal pun manusia mempunyai kehormatan yang harus dijunjung tinggi. Hak
dasar manusia yang bersifat universal seperti hak hidup, hak bebas dari
kekerasan, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak persamaan derajat terus di
perjuangkan umat manusia di berbagai belahan dunia.
Konsep hak asasi manusia yang berkembang
belakangan ini berasal dari pemikiran dunia barat. Cikal bakal perumusan konsep
hak asasi manusia di dunia barat dapat ditelusuri mulai dari filsuf Inggris
abad ke-17 John Locke (1632-1704) yang merumuskan beberapa hak alam (natural right) yang inheren pada
manusia. Konsep ini bangkit kembali seusai perang dunia II (pada 1948) dengan
dicanangkanya Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi) oleh negara-negara yang
tergabung dalam PBB. Deklarasi Universal dijabarkan dalam dua perjanjian
internasional, juga hasil sidang umum PBB. Di Eropa proses standard Setting diteruskan pada dasawarsa 1970-an dengan
diterimanya Helsinki Accord (1975) dalam dasawarsa 80-an disusul dengan African
Charter on Human and People Right (Piagam Afrika mengenai Hak Manusia dan
Bangsa-Bangsa, 1981). Dalam dasawarsa 1990-an disusul dengan Cairo Declaration
on Human Right in Islam (Deklarasi Kairo Mengenai Hak Asasi dalam Islam, 1990),
hasil karya Organisasi Konferensi Islam (OKI), Bangkok Declaration (Regional
Meeting For Asia of The World Conference on Human Right, 1993), Viena
Declaration (World Conference on Human Right, 1993) dan Human Right Declaration
of AIPO (Asean Interparliamentary Organization, 1993). Munculnya beragam piagam
menunjukan bahwa hak asasi manusia, sesuai dengan proses globalisasi yang
sedang kita alami, tidak lagi menjadi monopoli dunia barat. Ia sudah menjadi
universal sekalipun dapat diwarnai secara khusus berdasarkan kebudayaan dan
agama masing-masing negara.[1]
Perkembangan konsep hak asasi manusia
dapat dibedakan menjadi beberapa generasi. Pemikiran Karel Vasak dapat membantu kita
untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak yang terkandung
dalam konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi “ untuk
menunjukan pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang prioritaskan pada
suatu kurun waktu tertentu.[2]
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi
pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak
asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan
diri dari kungkungan kekuasaan absolutism negara dan kekuatan-kekuatan sosial
lainnya sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika
Serikat, Perancis pada abad-17 dan
ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak
klasik. Hak hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi
manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan
individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan
terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan
berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan
secara sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang
berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.[3]
“Persamaan” atau “hak-hak generasi
kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara
dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif. Agar hak-hak tersebut dapat
dipenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua dirumuskan dalam
bahasa yang positif . “hak atas” (right to) bukan dalam bahasa negative “bebas
Dari” (Freedom From). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi
pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah ha katas pekerjaan dan upah
yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan,
hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang
sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan
kesenian.[4]
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi
ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”
hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau dunia
ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak
solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu
tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak
berikut : (1) hak atas pembangunan, (2) hak atas perdamaian, (3) hak atas
sumber daya alam sendiri, (4) hak atas lingkungan hidup yang baik, dan (5) hak
atas warisan budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu.
Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali
tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia
terdahulu.[5]
Perkembangan hak asasi manusia di dunia
internasional turut serta mempengaruhi perkembangan konsep hak asasi manusia di
Indonesia. Konsep hak asasi manusia di Indonesia tentunya disesuaikan dengan
kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Negara Republik Indonesia
menjamin hak asasi manusia dalam konstitusinya yang terkandung dalam
pasal-pasal di Undang-Undang dasar 1945 karena hakikat konstitusi adalah
melindungi hak asasi manusia di satu sisi dan membatasi kekuasaan penguasa di
sisi lain. Hak asasi manusia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945
sebelum amandemen nampaknya berbeda sekali dengan hak asasi manusia yang di
jamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah di amandemen. Hal ini menarik
untuk dibahas dengan mengkaji mengenai sejarah konsep hak asasi manusia di
Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen,
Undang-Undang Dasar 1949 (UUD RIS), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sesudah amandemen.
Melalui sejarah hukum kita dapat
mengetahui dasar pemikiran konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam
setiap UUD yang berlaku pada kurun waktu tertentu, menurut Lili Rasjidi tanpa
memiliki pengetahuan sejarahnya, tak mungkin dapat memahami dengan baik hukum
positif yang berlaku saat ini.[6]
B.
INDENTIFIKASI
MASALAH
Dengan demikian
dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan pembahasan
dalam penulisan ini. Adapun beberapa pokok permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana hak asasi manusia di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum amandemen?
2.
Bagaimana hak asasi manusia di dalam
Undang-Undang Dasar 1949 dan Undang-Undang Dasar sementara 1950?
3.
Bagaimana hak asasi manusia di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Amandemen?
4.
Bagaimana aspek ontologi, epistemologi,
dan aksiologi dari hak asasi manusia?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
2.
Untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan
Undang-Undang Dasar sementara 1950
3.
Untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 Setelah Amandemen.
4.
Untuk mengetahui, memahami, dan
menganalisis aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari hak asasi manusia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HAK
ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (UUD 1945) SEBELUM AMANDEMEN
Dalam Khasanah budaya Indonesia terdapat
banyak kearifan lokal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Seperti dalam
kebudayaan mihanasa terdapat konsep si
tou timou tou yang artinya seorang manusia menjadi manusia dalam peranannya
menghidupkan manusia lain.[7]
Dalam masyarakat Sunda terdapat Falsafah Silih
Asah, Silih Asih, Silih Asuh sebagai pedoman hidup bermasyarakat agar bisa
saling mengingatkan, saling mengasihi, dan saling melindungi. Bahkan dalam
masyarakat tradisional seperti pada masyarakat baduy mengenal konsep penegakan
hukum dan keadilan yang dapat kita telusuri melalui pepatah : “Nerapkeun hukum ulah kancra kancas, ulah
cuweut kanu hideung, ulah monteng kanu koneng, ulah ngilik kanu putih, ulah
neuleu tandingan nenjo paroman, ulah pandang bulu”.[8] Begitu
pula pada masyarakat Bangka-Belitung terdapat ungkapan Cina-Melayu adalah sama,
sehingga tidak ada diskriminasi. Sehingga cara pandang bangsa Indonesia
terhadap hak asasi manusia turut memberi nafas terhadap konstitusinya.
Ide tentang hak asasi manusia dilihat
sebagai cermin pandangan barat yang bersifat individualism dan liberalisme,
yang ketika itu sangat ditentang oleh “The
founding leader” karena dianggap identik dengan kolonialisme dan
imperialisme. Oleh karena itu, pada mulanya dalam rancangan UUD 1945, tidak
memuat sama sekali ketentuan mengenai hak asasi manusia.[9] Hal
ini disebabkan karena rancangan konstitusi berdasarkan asas kekeluargaan bukan
liberalisme dan individualisme.
Sebelum menetapkan UUD 1945 terdapat
perbedaan pendapat mengenai hak asasi manusia di antara pendiri bangsa Bung
Karno (Juga Soepomo) dalam pidatonya, tidak setuju terhadap penegasan hak-hak
asasi, seperti hak-hak manusia, hak-hak warga negara, masuk dalam Undang-Undang
dasar. Alasan mendasar Bung Karno adalah bahwa hak-hak tersebut tumbuh dalam
alam individualisme di barat. Dan beberapa negara barat telah menerima
individualisme sebagai prinsip pokok dalam sebuah konstitusi. Begitu besar
pelindungan atas hak-hak individu –yang kuat dilandasi oleh individualisme-
mengakibatkan timbulnya liberalisme; liberalisme melahirkan kapitalisme; dan
kapitalisme akhirnya menimbulkan imperialisme. Sedangkan Indonesia merdeka
telah menerima dasar “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, itu
artinya telah menolak paham individualisme. Karena itu jika kita betul-betul
mendasarkan negara kita pada paham keadilan sosial, paham gotong royong, paham
kekeluargaan dan paham tolong menolong, maka kita harus berani membuang
jauh-jauh paham individualisme dan liberalisme. Dengan demikian, tidak perlu
lagi ditulis hak-hak tersebut dalam UUD.[10]
Disisi lain Hatta tegas berpandangan
bahwa bahwa hak asasi manusia dan hak-hak warga negara harus dicantumkan dalam
dasar konstitusi sebagai perlindungan atas negara dan warga negara yang
merdeka.[11]
M. Hatta setuju dengan konsep kekeluargaan dan anti terhadap individualisme
namun Hatta berpendapat jika hak asasi manusia tidak dicantumkan dalam
konstitusi maka dikhawatirkan Indonesia akan menjadi negara kekuasaan.
Setelah mengalami perdebatan yang alot
dan hasil dari kompromi para pendiri bangsa maka hak asasi manusia dimuat dalam
UUD 1945 tetapi secara terbatas hanya 7 (tujuh) pasal saja yaitu:
1.
Pasal 28, mengenai hak kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
2.
Pasal 29 ayat (2), mengenai hak untuk
beragama dan berkepercayaan.
3.
Pasal 27, mengenai persamaan di dalam
hukum dan pemerintahan, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
4.
Pasal 30, Hak untuk bela negara.
5.
Pasal 31, mengenai hak pendidikan.
6.
Pasal 32, mengenai hak kebudayaan.
7.
Pasal 34, mengenai hak fakir miskin dan
anak terlantar untuk dipelihara oleh negara.
Namun banyak para ahli seperti Prof.
Jumly Asshidiqie yang menyatakan bahwa dalam UUD 1945 sebelum di amandemen
tidak secara tegas mencantumkan jaminan hak asasi manusia. Prof Jimly
menyatakan bahwa yang merupakan hak asasi manusia adalah ketentuan dalam Pasal
29, sedangkan ketentuan lainnya lebih kearah hak warga negara.
B.
HAK
ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1949 DAN UNDANG-UNDANG DASAR
SEMENTARA 1950
Pada tahun 1949, setelah aksi militer
kedua dan dalam rangka persiapan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat,
suasana dunia sedang diliputi antara lain oleh adanya Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948. Karena itu, dalam perundingan
antara delegasi BFO dan delegasi Republik Indoensia, dicapai kesepakatan untuk
memasukan seluruh ketentuan hak asasi manusia dalam konstitusi RIS 1949. Oleh
karena itu, UUD RIS 1949 termasuk konstitusi pelopor di dunia yang mengadopsi
ketentuan DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak lanjut deklarasi PBB
pada bulan Desember 1949 tersebut.[12]
Kemudian setelah Republik Indonesia
kembali ke negara kesatuan pada 1950 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) disusun, dengan
sedikit perubahan seluruh pasal tentang hak asasi manusia itu dipindahkan dari
rumusan UUD RIS 1949 menjadi rumusan UUDS 1950.[13]
Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak
asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan
Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai
dengan Pasal 33. Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir
seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950. Di
dalam UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang
berjudul “Hak -Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri
dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.[14]
Hal menarik dari ketentuan HAM dalam
UUDS 1950 adalah mengenai hak milik sebagai suatu fungsi sosial, dalam
penjelasan pemerintah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak milik itu
mempunyai fungsi sosial” adalah hak milik itu tidak boleh dipakai oleh yang
memilikinya secara sewenang-wenang sehingga merugikan orang lain atau
membahayakan masyarakat. Pemerintah berhak menggunakan hak milik orang
perseorangan untuk kepentingan umum. Pendirian yang demikian ini tidak
tercantum dalam UUD 1945 maupun dalam UUD RIS 1949. Hal ini terdapat dalam
rumusan konstitusi Jerman Tahun 1919 yang dikenal sebagai konstitusi Weimar,
dan juga terdapat dalam konstitusi Italia Tahun 1947. Rupanya, dari kedua
konstitusi ini, ide hak milik berfungsi sosial itu diambil dan kemudian
dirumuskan menjadi ketentuan UUDS 1950.[15]
C.
HAK
ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
SETELAH AMANDEMEN
Latar belakang perubahan UUD 1945 tidak
bisa dilepaskan dari kejatuhan Presiden Soeharto yang melahirkan era reformasi.
Era reformasi mendorong perubahan tatanan kenegaraan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar sehingga kesalahan pada masa orde baru dan orde lama tidak
terulang lagi.
Salah satu dasar pemikiran atas
perubahan UUD yaitu rumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang semangat
penyelengaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat
aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan
rakyat, pernghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal ini membuka
peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaran negara yang tidak sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[16]
Dalam bidang hak asasi manusia langkah
yang dilakukan MPR untuk amandemen UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar
mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan
perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus
merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.[17]
Pencantuman HAM dalam UUD merupakan tanda keberhasilan suatu perubahan politik,
dalam hal ini reformasi, yakni politik birokratik-otoritarian atau bureaucratic
polity (menurut Karl Jackson dalam tulisannya New Order: The Prospeck For
Political Stability) menjadi politik demokrasi, yang secara teoritis melindungi
HAM.[18]
Dalam UUD Negara Republik Indonesia
setelah di amandemen hak asasi manusia ditempatkan pada bab XA pasal 28A ayat (1) sampai dengan Pasal 28J
ayat (2) dengan uraian sebagai berikut :
1.
Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupan diatur
dalam Pasal 28A “Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
2.
Hak untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan diatur dalam Pasal 28B ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah”.
3.
Hak anak diatur dalam (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
4.
Hak untuk mengembangkan diri,
mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya diatur dalam Pasal 28C
ayat (1) “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
5.
Hak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif diatur dalam Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
6.
Hak pengakuan, jaminan, perlindungan,
kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum diatur dalam Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.
7.
Hak untuk bekerja diatur dalam Pasal 28D
ayat (2) “Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja”.
8.
Hak persamaan dalam pemerintahan diatur
dalam Pasal 28D ayat (3) “Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
9.
Hak atas kewarganegaraan diatur dalam
Pasal 28D ayat (4) “Setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan”.
10.
Hak untuk bebas dalam memeluk agama dan
beribadat, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal diatur dalam Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
11.
Hak untuk bebas dalam meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap diatur dalam Pasal 28E ayat (2) “Setiap orang atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
12.
Hak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat diatur
dalam Pasal 28E ayat (3) “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Hak ini juga telah diatur dalam Pasal 28 “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
13.
Hak yang mengatur komunikasi dan
informasi diatur dalam Pasal 28F “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”.
14.
Hak atas pelindungan diatur dalam Pasal
28G ayat (1) “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
15.
Hak untuk bebas dari penyiksaan,
perlakuan yang merendahkan dan suaka politik diatur dalam Pasal 28G ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain”.
16.
Hak untuk hidup sejahtera, bertempat
tinggal, lingkungan, dan pelayanan kesehatan serta hak untuk memperoleh
kemudahan dan perlakuan khusus diatur dalam Pasal 28H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (2) “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
17.
Hak atas jaminan sosial diatur dalam
Pasal 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
18.
Hak atas hak milik diatur dalam Pasal
28H ayat (4) “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
19.
Hak-hak dasar yang tidak dapat kurangi
dalam keadaan apapun diatur dalam Pasal 28I (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun”.
20.
Hak untuk tidak didiskrimasi diatur
dalam Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
21.
Hak atas identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional diatur dalam Pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Agar hak asasi manusia seperti yang
disebutkan diatas dapat terlaksana maka hal itu menjadi tanggung jawab negara
yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah”. (5) “Untuk
menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan”.
Selain hak, UUD 1945 juga mengatur
tentang kewajiban dan pembatasan hal ini diatur dalam Pasal 28J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara”. (2) “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Keseluruhan ketentuan tentang HAM yang
ditetapkan dalam UUD 1945 setelah amandemen dapat dikatagorikan termasuk hak
asasi manusia generasi pertama, kedua, dan ketiga. Namun UUD sebagai buatan
manusia perlu disadari terdapat pengulangan ketentuan HAM dalam UUD 1945
setelah amandemen. Hal ini terlihat sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1), Pasal
28 (D) ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28J ayat (1) pasal pasal tersebut
mempunyai kesamaan dalam pengakuan bahwa setiap negara.
Ketentuan hak asasi manusia dalam pasal
28 A sampai dengan pasal 28 I bila kita lihat adalah seperti memindahkan begitu
saja ketentuan DUHAM ke dalam konstitusi kita. Walaupun bahwa hak asasi manusia
itu bersifat universal namun ada baiknya bila kita memperhatikan karakteristik
budaya Indonesia. Perlu mempertimbangkan aspek kekeluargaan dan aspek
kesusilaan sehingga hal yang dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa bahwa hak
asasi manusia itu induvidualistik dan kapitalis dapat dicegah dalam konstitusi.
Sehingga setiap orang tidak dapat secara
mudah berlindung dibalik HAM, seperti dalam kasus kumpul kebo orang akan dengan
mudah berlindung di balik HAM.
Selain dalam UUD 1945 jaminan hak asasi
manusia di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi manusia dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Untuk
mengadili pelanggaran HAM setelah terbitnya undang-undang ini maka dibentuk
Peradilan HAM di lingkungan peradilan umum dan Peradilan Ham Ad-hoc untuk
pelanggaran HAM sebelum terbitnya undang-undang ini.
Disamping
peraturan perundang-undangan nasional terdapat juga konvensi internasional yang
berkaitan dengan HAM. Status konvensi HAM internasional yang telah di
ratifikasi oleh Indonesia telah diatur dalam pasal (7) ayat (2) UU Nomor 39
Tahun 1999 Tentang HAM secara tegas menyatakan “..ketentuan hukum intermasional
yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional”. Automatic standing incorporation ini menurut Diajeng
Wulan Christianti dikarenakan pada saat pembahasan Undang-undang ini desakan
untuk adanya Automatic standing incorporation sangat menguat pada berbagai
forum internasional dan dalam perdebatan para pakar.[19]
D.
ASPEK
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI DARI HAK ASASI MANUSIA
Secara ontologi hak asasi manusia dapat
kita mulai dari definisi hak asasi manusia tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah
seprearangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tugas Yang Mha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain
hak undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban, kewajiban dasar manusia
adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang
dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan
karena diberikan kepdanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini,
maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak
tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat
universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk
apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya
perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu
tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada
dirinya sebagai mahluk insani.[20]
Hak asasi manusia sering disebut hak
kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak, atau dalam bahasa Inggris disebut natural right, human right, dan fundamental right. Dalam bahasa Belanda
dikenal ground rechten, mensen rechten,
dan rechten van mens. Istilah-istilah
tersebut menunjukan bahwa titik beratnya ialah pengakuan adanya hak manusia
sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, konkretnya dalam tataran praktis hak
asasi bergandengan tangan dan tidak dapat lepas dari kewajiban asasi dan
tanggung jawab asasi.[21]
Secara epistemologi, ada dua kubu besar
dalam memandang hak asasi manusia yaitu kubu universalisme dan kubu
relativisme. Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak
budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem
hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain,
menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.
Hak asasi manusia berangkat dari konsep
universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal
yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan
keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang
dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa
terkait dengan tulisan- tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics,
Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan
ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar
bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian
diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji
legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya,
kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus
menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum
alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan
politik. Sarana untuk menentukan
bentuk dan isi dari keadilan yang
alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dalam universalisme, individu adalah sebuah
unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan
pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu
komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti
individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa
kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di
berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan
menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negaranegara tersebut
mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation-state dari Barat
dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.
Isu relativisme budaya (cultural
relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon
terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan
tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya
sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap
perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua Kebudayaan
mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan
dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak
asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.
Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat
dengan konteks budaya umumnya diusung oleh negara-negara berkembang dan
negara-negara Islam. Gagasan ini begitu mengemuka pada dasawarsa 1990-an --
terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina--, disuarakan
dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya
merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para
pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan
klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values)
lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat”
(seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi
bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia”
itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad,
mantan Perdana Menteri Malaysia.
“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak
begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang
bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”,
ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih
dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang
ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan hak
asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di
kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan
kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat,
“saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela,
dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti
diberikan kepada pembangunan ekonomi”. Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan
standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia
tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri
tentang hak asasi manusia,” kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi
hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi
manusia tidak urgen bagi bangsa- bangsa Asia.
Secara aksiologi hak asasi manusia telah
dituangkan dalam dekralasi, piagam internasional, konstitusi, undang-undang dan
peraturan teknis lainnya. Penerapan hak asasi manusia tidak sama di setiap
negara tergantung kondisi sosial, politik dan budaya masing-masing negara. Hal
yang tidak dapat dari hak asasi manusia adalah kewajiban asasi manusia. Kewajiban
asasi menjadi semacam beban yang harus dilaksanakan bersama. Lebih-lebih bila
dikaitkan dengan asas hukum. Dimana antara hak dan kewajiban merupakan wujud
hukum. Tidak ada hukum tanpa hak dan kewajiban plus tanggung jawab, ditambah
agama, etika, dan adat menempatkan kewajiban selalu sejalan dengan ide hak
asasi manusia itu sendiri. Dengan demikian, keberadaan kewajiban asasi telah
ada dan melekat/menyatu dalam ,setiap orang. Menempatkan “beban” tidak bisa
tidak, harus dilaksanakan bersama-sama dengan hak yang dimiliki. Disinilah arti
pentingnya tingkat kesadaran manusia dituntut terutama para pemimpin untuk
mampu memberi contoh, teladan, menjaga, dan melaksanakannya.[22]
Dalam tataran praksis, aspek tanggung
jawab juga menjadi bagian integral dari makna dan realisasi HAM dalam
masyarakat. Tanggung jawab asasi merupakan wujud tingkat kesadaran
bermasyarakat/bernegara warga masyarakat. Komitmen ini harus dijaga dan
ditingkatkan, bersama dengan hak asasi dan kewajiban asasi yang sudah disepakati
sebelumnya. Semakin tinggi rasa tanggung jawab terhadap makna HAM, berarti
semakin tinggi pula kesadaran yang dimilikinya, disinilah tanggung jawab asasi
terkait langsung. Dalam tataran hukum publik, anggota masyarakatlah yang paling
cepat merasakan. Hal ini terkait dengan sikap dan tindakan aparat dalam
melaksanakan tugas mengayomi anggota masyarakat sehingga tindakan asal-asalan
(kurang tanggung jawab) menjadi berkurang.[23]
Hak asasi manusia bagi seseorang
merupakan kewajiban asasi bagi orang lainnya, hak dan kewajiban asasi harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga cita-cita luhur manusia yang
beradab dapat terwujud.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam konstitusi Indonesia mulai dari
UUD 1945 sebelum amandemen, UUD RIS 1950, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah
amandemen hak asasi manusia telah diatur dengan kadar yang berbeda-beda. Dalam
UUD 1945 sebelum di amandemen hak asasi manusia belum diatur secara lengkap
karena situasi dan kondisi pada saat itu yang menyebabkan para perumus UUD
beranggapan bahwa hak asasi manusia terlalu individulaisme dan kapitalisme
sehingga tidak cocok dengan keadaan riil di Indonesia yang masyarakatnya
bersifat kekeluargaan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Tahun 1948 turut mempengaruhi UUD RIS 1949 sehingga dalam UUD ini pengaturan
hak asasi manusia lebih lengkap karena telah mengadopsi Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, begitu pula dengan UUDS 1950 yang mengadopsi seluruh ketetuan
dalam UUD RIS 1949 dengan sedikit tambahan. Reformasi telah membuat perubahan
yang sangat besar dalam kehidupan bernegara tak terkecuali hak asasi manusia
yang diatur lengkap dalam UUD 1945 setelah diamandemen, namun dalam UUD 1945
setelah amandemen perlu dilakukan beberapa penyempurnaan.
Secara ontologi hak asasi manusia adalah
hak yang melekat pada manusia karena memang ia adalah manusia yang tidak dapat
dikurangi oleh siapapun dan oleh apapun. Secara epistemologi hak asasi manusia
terdapat dua kubu yaitu universalisme dan relativisme. Secara aksiologi hak
asasi manusia telah dituangkan dalam berbagai deklarasi, piagam, konstitusi,
dan perundang-undangan yang pelaksanaannya berbeda pada setiap negara. Hak
asasi manusia harus selalu berdampingan dengan kewajiban asasi manusia karena Hak
asasi manusia bagi seseorang merupakan kewajiban asasi bagi orang lainnya.
B.
SARAN
Undang-Undang Dasar
kita telah mengatur secara jelas mengenai hak asasi manusia namun dalam
pelaksanaannya belum maksimal sehingga perlu ditingkatkan kesadaran dan kemauan
semua pihak agar hak asasi manusia dapat ditegakan di bumi Indonesia sehingga
rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera lahir batin tanpa penindasan dan
diskriminasi. Juga diperlukan
penelitian mengenai hak asasi manusia
yang berkesinambungan agar dapat dijadikan masukan dalam merumuskan kebijakan
negara dalam hak asasi manusia bahkan dapat dijadikan sebagai bahan amandemen
UUD agar konsep hak asasi manusia dalam konstitusi dapat mengikuti perkembangan
zaman dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
[1]Miriam
Budiardjo, Mengapai Kedaulatan Untuk Rakyat : 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo,
Bandung : Mizan, 1998, Hlm. 41
[2]
Rhona K.M, Smith Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008,
Hlm. 14
[3]
Ibid. Hlm. 15
[4]
Ibid, hlm. 15-16
[5]
Ibid, Hlm. 16
[6]
Terdapat dalam pengantar Lili Rasjidi untuk buku Sejarah Hukum Suatu Pengantar
karya Prof. Dr. Emeritus John Gilissen
dan Prof. Dr Emeritus Frits Gorde disadur oleh Drs. Freddy Tengker, SH., CN.
[7]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
2004, Hlm. 165.
[8]
Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara,
2010, Hlm. 130
[9]
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer, 2007, Hlm. 627
[10]
Wawan Tunggal Alam, Pertentangan Soekarno Vs Hatta, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2003, Hlm 159.
[11]
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980, Sleman: Garasi, 2009, Hlm 105
[12] Jimly
Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2007, Hlm. 635
[13] Ibid.
[14] Rhona
K.M, Smith Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008, Hlm.
248
[15] Jimly
Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2007, Hlm. 636
[16]
Krisna Harahap, Konstitusi republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5, Bandung :
PT Grafitri Budi Utami, 2009, Hlm. 60
[17]
Ibid, Hlm. 61
[18]
Ibid. Hlm 163
[19] Diajeng
Wulan Christianti, Status Konvensi Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional
Indonesia : Teori dan Praktek tulisan ini terdapat dalam buku Peran Hukum Dalam
Pembangunan di Indonesia Kenyataan, Harapan dan Tantangan Liber Amicorum Prof.
Dr. Etty R. Agoes, SH,LLM., Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013. Hlm. 135.
[20]
Ibid. Hlm 11.
[21]
Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika/Dimensi Hukum,
Politik, Ekonomi, dan Sosial, Bogor : Ghalia Indonesia, 2014, Hlm 9
[22]
Ibid. Hlm. 10
[23]
Ibid Hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar