Rabu, 14 Desember 2016





PERKEMBANGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM LINTAS SEJARAH KONSTITUSI INDONESIA (UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN, UUD RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN)



BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang melekat sejak dari dalam kandungan, kelahiran, sampai setelah meninggal pun manusia mempunyai kehormatan yang harus dijunjung tinggi. Hak dasar manusia yang bersifat universal seperti hak hidup, hak bebas dari kekerasan, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak persamaan derajat terus di perjuangkan umat manusia di berbagai belahan dunia.

Konsep hak asasi manusia yang berkembang belakangan ini berasal dari pemikiran dunia barat. Cikal bakal perumusan konsep hak asasi manusia di dunia barat dapat ditelusuri mulai dari filsuf Inggris abad ke-17 John Locke (1632-1704) yang merumuskan beberapa hak alam (natural right) yang inheren pada manusia. Konsep ini bangkit kembali seusai perang dunia II (pada 1948) dengan dicanangkanya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi) oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Deklarasi Universal dijabarkan dalam dua perjanjian internasional, juga hasil sidang umum PBB. Di Eropa proses standard Setting diteruskan pada dasawarsa 1970-an dengan diterimanya Helsinki Accord (1975) dalam dasawarsa 80-an disusul dengan African Charter on Human and People Right (Piagam Afrika mengenai Hak Manusia dan Bangsa-Bangsa, 1981). Dalam dasawarsa 1990-an disusul dengan Cairo Declaration on Human Right in Islam (Deklarasi Kairo Mengenai Hak Asasi dalam Islam, 1990), hasil karya Organisasi Konferensi Islam (OKI), Bangkok Declaration (Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human Right, 1993), Viena Declaration (World Conference on Human Right, 1993) dan Human Right Declaration of AIPO (Asean Interparliamentary Organization, 1993). Munculnya beragam piagam menunjukan bahwa hak asasi manusia, sesuai dengan proses globalisasi yang sedang kita alami, tidak lagi menjadi monopoli dunia barat. Ia sudah menjadi universal sekalipun dapat diwarnai secara khusus berdasarkan kebudayaan dan agama masing-masing negara.[1]

Perkembangan konsep hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi beberapa generasi.  Pemikiran Karel Vasak dapat membantu kita untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak yang terkandung dalam konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi “ untuk menunjukan pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang prioritaskan pada suatu kurun waktu tertentu.[2]

“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutism negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat, Perancis  pada abad-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan secara sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.[3]

“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif. Agar hak-hak tersebut dapat dipenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua dirumuskan dalam bahasa yang positif . “hak atas” (right to) bukan dalam bahasa negative “bebas Dari” (Freedom From). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah ha katas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan kesenian.[4]

“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama” hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau dunia ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut : (1) hak atas pembangunan, (2) hak atas perdamaian, (3) hak atas sumber daya alam sendiri, (4) hak atas lingkungan hidup yang baik, dan (5) hak atas warisan budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.[5]

Perkembangan hak asasi manusia di dunia internasional turut serta mempengaruhi perkembangan konsep hak asasi manusia di Indonesia. Konsep hak asasi manusia di Indonesia tentunya disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Negara Republik Indonesia menjamin hak asasi manusia dalam konstitusinya yang terkandung dalam pasal-pasal di Undang-Undang dasar 1945 karena hakikat konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia di satu sisi dan membatasi kekuasaan penguasa di sisi lain. Hak asasi manusia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen nampaknya berbeda sekali dengan hak asasi manusia yang di jamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah di amandemen. Hal ini menarik untuk dibahas dengan mengkaji mengenai sejarah konsep hak asasi manusia di Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, Undang-Undang Dasar 1949 (UUD RIS), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sesudah amandemen. Melalui sejarah hukum kita dapat  mengetahui dasar pemikiran konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap UUD yang berlaku pada kurun waktu tertentu, menurut Lili Rasjidi tanpa memiliki pengetahuan sejarahnya, tak mungkin dapat memahami dengan baik hukum positif yang berlaku saat ini.[6]

B.        INDENTIFIKASI MASALAH

Dengan demikian dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan pembahasan dalam penulisan ini. Adapun beberapa pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen?
2.      Bagaimana hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan Undang-Undang Dasar sementara 1950?
3.      Bagaimana hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Amandemen?
4.      Bagaimana aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari hak asasi manusia?

C.       TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
2.      Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan Undang-Undang Dasar sementara 1950
3.      Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  1945 Setelah Amandemen.
4.      Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari hak asasi manusia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.       HAK ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (UUD 1945)  SEBELUM AMANDEMEN

Dalam Khasanah budaya Indonesia terdapat banyak kearifan lokal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Seperti dalam kebudayaan mihanasa terdapat konsep si tou timou tou yang artinya seorang manusia menjadi manusia dalam peranannya menghidupkan manusia lain.[7] Dalam masyarakat Sunda terdapat Falsafah Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh sebagai pedoman hidup bermasyarakat agar bisa saling mengingatkan, saling mengasihi, dan saling melindungi. Bahkan dalam masyarakat tradisional seperti pada masyarakat baduy mengenal konsep penegakan hukum dan keadilan yang dapat kita telusuri melalui pepatah : “Nerapkeun hukum ulah kancra kancas, ulah cuweut kanu hideung, ulah monteng kanu koneng, ulah ngilik kanu putih, ulah neuleu tandingan nenjo paroman, ulah pandang bulu”.[8] Begitu pula pada masyarakat Bangka-Belitung terdapat ungkapan Cina-Melayu adalah sama, sehingga tidak ada diskriminasi. Sehingga cara pandang bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia turut memberi nafas terhadap konstitusinya.

Ide tentang hak asasi manusia dilihat sebagai cermin pandangan barat yang bersifat individualism dan liberalisme, yang ketika itu sangat ditentang oleh “The founding leader” karena dianggap identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Oleh karena itu, pada mulanya dalam rancangan UUD 1945, tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai hak asasi manusia.[9] Hal ini disebabkan karena rancangan konstitusi berdasarkan asas kekeluargaan bukan liberalisme dan individualisme.

Sebelum menetapkan UUD 1945 terdapat perbedaan pendapat mengenai hak asasi manusia di antara pendiri bangsa Bung Karno (Juga Soepomo) dalam pidatonya, tidak setuju terhadap penegasan hak-hak asasi, seperti hak-hak manusia, hak-hak warga negara, masuk dalam Undang-Undang dasar. Alasan mendasar Bung Karno adalah bahwa hak-hak tersebut tumbuh dalam alam individualisme di barat. Dan beberapa negara barat telah menerima individualisme sebagai prinsip pokok dalam sebuah konstitusi. Begitu besar pelindungan atas hak-hak individu –yang kuat dilandasi oleh individualisme- mengakibatkan timbulnya liberalisme; liberalisme melahirkan kapitalisme; dan kapitalisme akhirnya menimbulkan imperialisme. Sedangkan Indonesia merdeka telah menerima dasar “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, itu artinya telah menolak paham individualisme. Karena itu jika kita betul-betul mendasarkan negara kita pada paham keadilan sosial, paham gotong royong, paham kekeluargaan dan paham tolong menolong, maka kita harus berani membuang jauh-jauh paham individualisme dan liberalisme. Dengan demikian, tidak perlu lagi ditulis hak-hak tersebut dalam UUD.[10]

Disisi lain Hatta tegas berpandangan bahwa bahwa hak asasi manusia dan hak-hak warga negara harus dicantumkan dalam dasar konstitusi sebagai perlindungan atas negara dan warga negara yang merdeka.[11] M. Hatta setuju dengan konsep kekeluargaan dan anti terhadap individualisme namun Hatta berpendapat jika hak asasi manusia tidak dicantumkan dalam konstitusi maka dikhawatirkan Indonesia akan menjadi negara kekuasaan.

Setelah mengalami perdebatan yang alot dan hasil dari kompromi para pendiri bangsa maka hak asasi manusia dimuat dalam UUD 1945 tetapi secara terbatas hanya 7 (tujuh) pasal saja yaitu:
1.      Pasal 28, mengenai hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
2.      Pasal 29 ayat (2), mengenai hak untuk beragama dan berkepercayaan.
3.      Pasal 27, mengenai persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
4.      Pasal 30, Hak untuk bela negara.
5.      Pasal 31, mengenai hak pendidikan.
6.      Pasal 32, mengenai hak kebudayaan.
7.      Pasal 34, mengenai hak fakir miskin dan anak terlantar untuk dipelihara oleh negara.

Namun banyak para ahli seperti Prof. Jumly Asshidiqie yang menyatakan bahwa dalam UUD 1945 sebelum di amandemen tidak secara tegas mencantumkan jaminan hak asasi manusia. Prof Jimly menyatakan bahwa yang merupakan hak asasi manusia adalah ketentuan dalam Pasal 29, sedangkan ketentuan lainnya lebih kearah hak warga negara.

B.        HAK ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1949 DAN UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950

Pada tahun 1949, setelah aksi militer kedua dan dalam rangka persiapan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat, suasana dunia sedang diliputi antara lain oleh adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948. Karena itu, dalam perundingan antara delegasi BFO dan delegasi Republik Indoensia, dicapai kesepakatan untuk memasukan seluruh ketentuan hak asasi manusia dalam konstitusi RIS 1949. Oleh karena itu, UUD RIS 1949 termasuk konstitusi pelopor di dunia yang mengadopsi ketentuan DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak lanjut deklarasi PBB pada bulan Desember 1949 tersebut.[12]

Kemudian setelah Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan pada 1950 dan Undang-Undang Dasar  Sementara 1950 (UUDS 1950) disusun, dengan sedikit perubahan seluruh pasal tentang hak asasi manusia itu dipindahkan dari rumusan UUD RIS 1949 menjadi rumusan UUDS 1950.[13]

Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950. Di dalam UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang berjudul “Hak -Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.[14]

Hal menarik dari ketentuan HAM dalam UUDS 1950 adalah mengenai hak milik sebagai suatu fungsi sosial, dalam penjelasan pemerintah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak milik itu mempunyai fungsi sosial” adalah hak milik itu tidak boleh dipakai oleh yang memilikinya secara sewenang-wenang sehingga merugikan orang lain atau membahayakan masyarakat. Pemerintah berhak menggunakan hak milik orang perseorangan untuk kepentingan umum. Pendirian yang demikian ini tidak tercantum dalam UUD 1945 maupun dalam UUD RIS 1949. Hal ini terdapat dalam rumusan konstitusi Jerman Tahun 1919 yang dikenal sebagai konstitusi Weimar, dan juga terdapat dalam konstitusi Italia Tahun 1947. Rupanya, dari kedua konstitusi ini, ide hak milik berfungsi sosial itu diambil dan kemudian dirumuskan menjadi ketentuan UUDS 1950.[15]

C.       HAK ASASI MANUSIA DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 SETELAH AMANDEMEN

Latar belakang perubahan UUD 1945 tidak bisa dilepaskan dari kejatuhan Presiden Soeharto yang melahirkan era reformasi. Era reformasi mendorong perubahan tatanan kenegaraan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar sehingga kesalahan pada masa orde baru dan orde lama tidak terulang lagi.

Salah satu dasar pemikiran atas perubahan UUD yaitu rumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang semangat penyelengaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, pernghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaran negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[16]

Dalam bidang hak asasi manusia langkah yang dilakukan MPR untuk amandemen UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945.[17] Pencantuman HAM dalam UUD merupakan tanda keberhasilan suatu perubahan politik, dalam hal ini reformasi, yakni politik birokratik-otoritarian atau bureaucratic polity (menurut Karl Jackson dalam tulisannya New Order: The Prospeck For Political Stability) menjadi politik demokrasi, yang secara teoritis melindungi HAM.[18]

Dalam UUD Negara Republik Indonesia setelah di amandemen hak asasi manusia ditempatkan pada bab XA  pasal 28A ayat (1) sampai dengan Pasal 28J ayat (2) dengan uraian sebagai berikut :

1.      Hak untuk hidup,  mempertahankan hidup dan kehidupan diatur dalam Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
2.      Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan diatur dalam Pasal 28B ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
3.      Hak anak diatur dalam (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
4.      Hak untuk mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya  diatur dalam Pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
5.      Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif diatur dalam Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya  secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
6.      Hak pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum diatur dalam Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
7.      Hak untuk bekerja diatur dalam Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
8.      Hak persamaan dalam pemerintahan diatur dalam Pasal 28D ayat (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
9.      Hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 28D ayat (4) “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.
10.  Hak untuk bebas dalam memeluk agama dan beribadat, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diatur dalam Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
11.  Hak untuk bebas dalam meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap diatur dalam Pasal 28E ayat (2) “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
12.  Hak  atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hak ini juga telah diatur dalam Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
13.  Hak yang mengatur komunikasi dan informasi diatur dalam Pasal 28F “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
14.  Hak atas pelindungan diatur dalam Pasal 28G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
15.  Hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang merendahkan dan suaka politik diatur dalam Pasal 28G ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
16.  Hak untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, lingkungan, dan pelayanan kesehatan serta hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus diatur dalam Pasal 28H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (2) “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.  
17.  Hak atas jaminan sosial diatur dalam Pasal 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
18.  Hak atas hak milik diatur dalam Pasal 28H ayat (4) “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
19.  Hak-hak dasar yang tidak dapat kurangi dalam keadaan apapun diatur dalam Pasal 28I (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
20.  Hak untuk tidak didiskrimasi diatur dalam Pasal 28I ayat  (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
21.  Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional diatur dalam Pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Agar hak asasi manusia seperti yang disebutkan diatas dapat terlaksana maka hal itu menjadi tanggung jawab negara yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. (5) “Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan”.

Selain hak, UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban dan pembatasan hal ini diatur dalam Pasal 28J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Keseluruhan ketentuan tentang HAM yang ditetapkan dalam UUD 1945 setelah amandemen dapat dikatagorikan termasuk hak asasi manusia generasi pertama, kedua, dan ketiga. Namun UUD sebagai buatan manusia perlu disadari terdapat pengulangan ketentuan HAM dalam UUD 1945 setelah amandemen. Hal ini terlihat sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 (D) ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28J ayat (1) pasal pasal tersebut mempunyai kesamaan dalam pengakuan bahwa setiap negara.

Ketentuan hak asasi manusia dalam pasal 28 A sampai dengan pasal 28 I bila kita lihat adalah seperti memindahkan begitu saja ketentuan DUHAM ke dalam konstitusi kita. Walaupun bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal namun ada baiknya bila kita memperhatikan karakteristik budaya Indonesia. Perlu mempertimbangkan aspek kekeluargaan dan aspek kesusilaan sehingga hal yang dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa bahwa hak asasi manusia itu induvidualistik dan kapitalis dapat dicegah dalam konstitusi. Sehingga setiap orang  tidak dapat secara mudah berlindung dibalik HAM, seperti dalam kasus kumpul kebo orang akan dengan mudah berlindung di balik HAM.

Selain dalam UUD 1945 jaminan hak asasi manusia di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia dan Undang-Undang  Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Untuk mengadili pelanggaran HAM setelah terbitnya undang-undang ini maka dibentuk Peradilan HAM di lingkungan peradilan umum dan Peradilan Ham Ad-hoc untuk pelanggaran HAM sebelum terbitnya undang-undang ini.

Disamping peraturan perundang-undangan nasional terdapat juga konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM. Status konvensi HAM internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia telah diatur dalam pasal (7) ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM secara tegas menyatakan “..ketentuan hukum intermasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”. Automatic standing incorporation ini menurut Diajeng Wulan Christianti dikarenakan pada saat pembahasan Undang-undang ini desakan untuk adanya Automatic standing incorporation sangat menguat pada berbagai forum internasional dan dalam perdebatan para pakar.[19]

D.    ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI DARI HAK ASASI MANUSIA

Secara ontologi hak asasi manusia dapat kita mulai dari definisi hak asasi manusia tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah seprearangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Mha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain hak undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban, kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepdanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai mahluk insani.[20]

Hak asasi manusia sering disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak, atau dalam bahasa Inggris disebut natural right, human right, dan fundamental right. Dalam bahasa Belanda dikenal ground rechten, mensen rechten, dan rechten van mens. Istilah-istilah tersebut menunjukan bahwa titik beratnya ialah pengakuan adanya hak manusia sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, konkretnya dalam tataran praktis hak asasi bergandengan tangan dan tidak dapat lepas dari kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.[21]

Secara epistemologi, ada dua kubu besar dalam memandang hak asasi manusia yaitu kubu universalisme dan kubu relativisme. Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.

Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan- tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan
bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.

Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negaranegara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation-state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.

Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua Kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.

Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu mengemuka pada dasawarsa 1990-an -- terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina--, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.

“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”, ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”. Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,” kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak urgen bagi bangsa- bangsa Asia.

Secara aksiologi hak asasi manusia telah dituangkan dalam dekralasi, piagam internasional, konstitusi, undang-undang dan peraturan teknis lainnya. Penerapan hak asasi manusia tidak sama di setiap negara tergantung kondisi sosial, politik dan budaya masing-masing negara. Hal yang tidak dapat dari hak asasi manusia adalah kewajiban asasi manusia. Kewajiban asasi menjadi semacam beban yang harus dilaksanakan bersama. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan asas hukum. Dimana antara hak dan kewajiban merupakan wujud hukum. Tidak ada hukum tanpa hak dan kewajiban plus tanggung jawab, ditambah agama, etika, dan adat menempatkan kewajiban selalu sejalan dengan ide hak asasi manusia itu sendiri. Dengan demikian, keberadaan kewajiban asasi telah ada dan melekat/menyatu dalam ,setiap orang. Menempatkan “beban” tidak bisa tidak, harus dilaksanakan bersama-sama dengan hak yang dimiliki. Disinilah arti pentingnya tingkat kesadaran manusia dituntut terutama para pemimpin untuk mampu memberi contoh, teladan, menjaga, dan melaksanakannya.[22]

Dalam tataran praksis, aspek tanggung jawab juga menjadi bagian integral dari makna dan realisasi HAM dalam masyarakat. Tanggung jawab asasi merupakan wujud tingkat kesadaran bermasyarakat/bernegara warga masyarakat. Komitmen ini harus dijaga dan ditingkatkan, bersama dengan hak asasi dan kewajiban asasi yang sudah disepakati sebelumnya. Semakin tinggi rasa tanggung jawab terhadap makna HAM, berarti semakin tinggi pula kesadaran yang dimilikinya, disinilah tanggung jawab asasi terkait langsung. Dalam tataran hukum publik, anggota masyarakatlah yang paling cepat merasakan. Hal ini terkait dengan sikap dan tindakan aparat dalam melaksanakan tugas mengayomi anggota masyarakat sehingga tindakan asal-asalan (kurang tanggung jawab) menjadi berkurang.[23]

Hak asasi manusia bagi seseorang merupakan kewajiban asasi bagi orang lainnya, hak dan kewajiban asasi harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga cita-cita luhur manusia yang beradab dapat terwujud.


BAB III
PENUTUP

A.          KESIMPULAN
Dalam konstitusi Indonesia mulai dari UUD 1945 sebelum amandemen, UUD RIS 1950, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen hak asasi manusia telah diatur dengan kadar yang berbeda-beda. Dalam UUD 1945 sebelum di amandemen hak asasi manusia belum diatur secara lengkap karena situasi dan kondisi pada saat itu yang menyebabkan para perumus UUD beranggapan bahwa hak asasi manusia terlalu individulaisme dan kapitalisme sehingga tidak cocok dengan keadaan riil di Indonesia yang masyarakatnya bersifat kekeluargaan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 turut mempengaruhi UUD RIS 1949 sehingga dalam UUD ini pengaturan hak asasi manusia lebih lengkap karena telah mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, begitu pula dengan UUDS 1950 yang mengadopsi seluruh ketetuan dalam UUD RIS 1949 dengan sedikit tambahan. Reformasi telah membuat perubahan yang sangat besar dalam kehidupan bernegara tak terkecuali hak asasi manusia yang diatur lengkap dalam UUD 1945 setelah diamandemen, namun dalam UUD 1945 setelah amandemen perlu dilakukan beberapa penyempurnaan.

Secara ontologi hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia karena memang ia adalah manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan oleh apapun. Secara epistemologi hak asasi manusia terdapat dua kubu yaitu universalisme dan relativisme. Secara aksiologi hak asasi manusia telah dituangkan dalam berbagai deklarasi, piagam, konstitusi, dan perundang-undangan yang pelaksanaannya berbeda pada setiap negara. Hak asasi manusia harus selalu berdampingan dengan kewajiban asasi manusia karena Hak asasi manusia bagi seseorang merupakan kewajiban asasi bagi orang lainnya.



B.           SARAN

Undang-Undang Dasar kita telah mengatur secara jelas mengenai hak asasi manusia namun dalam pelaksanaannya belum maksimal sehingga perlu ditingkatkan kesadaran dan kemauan semua pihak agar hak asasi manusia dapat ditegakan di bumi Indonesia sehingga rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera lahir batin tanpa penindasan dan diskriminasi. Juga  diperlukan penelitian  mengenai hak asasi manusia yang berkesinambungan agar dapat dijadikan masukan dalam merumuskan kebijakan negara dalam hak asasi manusia bahkan dapat dijadikan sebagai bahan amandemen UUD agar konsep hak asasi manusia dalam konstitusi dapat mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.


[1]Miriam Budiardjo, Mengapai Kedaulatan Untuk Rakyat : 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo, Bandung : Mizan, 1998, Hlm. 41
[2] Rhona K.M, Smith Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008, Hlm. 14
[3] Ibid. Hlm. 15
[4] Ibid, hlm. 15-16
[5] Ibid, Hlm. 16
[6] Terdapat dalam pengantar Lili Rasjidi untuk buku Sejarah Hukum Suatu Pengantar karya  Prof. Dr. Emeritus John Gilissen dan Prof. Dr Emeritus Frits Gorde disadur oleh Drs. Freddy Tengker, SH., CN.
[7] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2004, Hlm. 165.
[8] Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010, Hlm. 130
[9] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2007, Hlm. 627
[10] Wawan Tunggal Alam, Pertentangan Soekarno Vs Hatta, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003, Hlm 159.
[11] Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980,  Sleman: Garasi, 2009, Hlm 105
[12] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2007, Hlm. 635
[13] Ibid.
[14] Rhona K.M, Smith Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008, Hlm. 248
[15] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2007, Hlm. 636
[16] Krisna Harahap, Konstitusi republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5, Bandung : PT Grafitri Budi Utami, 2009, Hlm. 60
[17] Ibid, Hlm. 61
[18] Ibid. Hlm 163
[19] Diajeng Wulan Christianti, Status Konvensi Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Indonesia : Teori dan Praktek tulisan ini terdapat dalam buku Peran Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia Kenyataan, Harapan dan Tantangan Liber Amicorum Prof. Dr. Etty R. Agoes, SH,LLM., Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013. Hlm. 135.
[20] Ibid. Hlm 11.
[21] Mansyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial, Bogor : Ghalia Indonesia, 2014, Hlm 9
[22] Ibid. Hlm. 10
[23] Ibid Hlm. 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar