PENYEDERHANAAN HAK
ATAS TANAH DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN HUKUM TANAH NASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan
karena tanah merupakan pijakan kaki manusia selama ia hidup, bahkan setelah
meninggal pun sebagian manusia dikubur ke dalam tanah. Hubungan manusia dengan
tanah dimulai sejak manusia ada, semakin erat hubungan manusia dengan tanah
dalam hal mengunakan tanah maka akan timbul hak dan kewajiban terhadap tanah. Menurut
Drs. J.B.A.F. Mayor Polak hubungan
manusia dengan tanah sepanjang sejarah kehidupan manusia dapat dibedakan dalam
3 tahap yaitu:
1.
Tahap I
Pada
saat manusia masih hidup dengan memburu binatang dan mencari buah-buahan, hasil
hutan yang dapat dimakan, mencari ikan, manusia hidup mengembara dari satu
tempat ke tempat lain.
2.
Tahap II
Pada
tahap manusia mulai mengenal cara bercocok tanam. Pada tahap ini manusia mulai
menetap di suatu tempat tertentu selama menunggu hasil panen tanamannya. Ikatan
dengan tanah semakin erat oleh cara berternak yang mulai dikenal manusia dan
bersamaan dengan pengenalan cara bercocok tanam.
3.
Tahap III
Tahap ini dimana
manusia sudah mempergunakan ternak untuk membantu usaha pertanian. Manusia
mulai terikat dengan hasil-hasil panen tanaman dan hasil-hasil peternakan.
Manusia mulai merasa lebih terjamin hidupnya dengan mengandalkan pada hasil
pertanian dan berternak dari pada hidup mengembara. Manusia mulai merasakan
surplus hasil produksi, corak pertanian, mengolah tanah sendiri, menunggu hasil
panen untuk jangka waktu yang lama kemudian memungut hasil panen dan mendorong ke arah timbulnnya pemilikan
individual atas tanah, walaupun masih tunduk pada kehidupan persekutuan. Pada
saat ini mulai hidup menetap dan mengenal cara bercocok tanam dengan bantuan
ternak dan mulai mengenal pertukangan, terhadap surplus hasil pertanian dan
kerajinan pada kelompok hidup orang-orang yang menetap. Keadaan ini mendorong
lahirnya kelompok orang-orang yang mulai mengkhususkan diri sebagai penjaga
keamanan dan melindungi masyarakat dari gangguan keamanan dan
perampokan-perampokan.[1]
Pada tahap III dalam kelompok masyarakat
timbul seseorang yang menjadi primus inter pares sebagai pemimpin kelompok yang
menjaga kemanan kelompok masyarakatnya, untuk mendapatkan perlindungan keamanan
anggota kelompok diharuskan bersumpak setia kepada pemimpin kelompok dan
disertai penyerahan tanah. Ini merupakan cikal bakal timbunya
bangsawan-bangsawan yang menguasai tanah. Dalam perkembangannya
bangsawan-bangsawan ini terpinggirkan oleh kekuasaan para raja. Atas desakan
pedagang dan tukang-tukang untuk meningkatkan perdagangan hasil pertukangan
atau industri raja didesak untuk menjalankan politik merkantilisme yang mulai
berkembang di eropa pada abad 16.
Politik merkantilisme dan beberapa sebab
lainnya ini mendorong ekspansi bangsa eropa ke seluruh belahan dunia termasuk
Nusantara yang berkembang menjadi kolonialisme. Kolonialisme Bangsa Belanda di
nusantara membawa pengaruh yang sangat kuat terhadap corak pengaturan masalah
pertanahan di Nusantara. Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan hukum
pertanahan yang diskrimatif yang membedakan antara bangsa eropa dan timur asing
yang diatur oleh hukum eropa[2]
dan untuk bangsa pribumi yang atur oleh hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka, bangsa
Indonesia mecita-citakan hukum tanah nasional yang menghapus macam-macam bentuk
hak atas tanah yang diskriminatif dan bernuansa kolonial. Pada tahun 1948
dikeluarkan UU No. 13 Tahun 1948 tentang penghapusan hak konversi yang
bersumber pahan feodalisme. UU ini dilengkapi dengan UU No. 5 Tahun 1950. UU
No. 1 Tahun 1958 menghapus tanah partikelir, yakni tanah eigendom yang bercorak
istimewa karena dilekatkan hak kenegaraan atau hak pertuanan, termasuk menuntut
kerja paksa (rodi), hak memungut uang pengganti kerja paksa, hak mengadakan
pungutan-pungutan dan sebagainya. Peraturan Persewaan Tanah Rakyat juga diubah
dengan UU Darurat No. 6 Tahun 1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 6
Tahun 1952. Pengawasan Pemindahan Hak Atas Tanah diatur lagi dengan UU Darurat
No. 1 Tahun 1952 yang dikukuhkan dengan UU No. 24 Tahun 1954. Sehingga
perbuatan-perbuatan yang berwujud pemindahan hak yang dulunya tunduk pada hukum
eropa baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah. Dengan UU No.
78 Tahun 1948 ditentukan penaikan besarnya canon dan cijns, yakni uang yang
harus dibayar oleh pemegang hak erfpacht kepada negara dan oleh pemegang hak
konsesi perusahaan-perusahaan perkebunan besar. UU darurat No. 8 Tahun 1954
yang kemudian diubah dan ditambah dengan UU No. 1 Tahun 1956 digariskan
larangan dan penyesuaian pemakaian tanah
tanpa izin, selanjutnya diatur juga tentang Perjanjian Bagi Hasil dengan UU No.
2 Tahun 1960 yang memuat materi yang lebih adil karena menghapus praktik-praktik
eksploitasi terhadap terhadap penggarap tanah. Itulah langkah-langkah yang
diambil secara parsial untuk menghilangkan elemen-elemen buruk yang dibawa oleh
hukum agrarian peninggalan kolonialisme Belanda.[3]
Melalui perjalanan panjang penggodokan Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria (RUUPA), berdasarkan rancangan Sadjarwo (waktu itu
sebagai Menteri Agraria), maka pada 1 Agustus 1960 RUUPA disetujui oleh Kabinet
inti, yang kemudian diikuti dengan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 Nomor
2584/HK/60, RUUPA diajukan kepada DPR-GR. Dalam sidang pleno sebanyak 3 kali,
dengan suara bulat DPR-GR menerima baik RUUPA; pada hari Sabtu tanggal 24
September 1960. RUUPA yang telah disetujui oleh DPR-GR itu disahkan oleh
Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang menurut dictum kelimanya dapat disebut Undang-Undang
Pokok Agraria atau UUPA. Dengan berlakunya UUPA maka terjadi perombakan secara
revolusioner hukum hak atas Indonesia, yaitu penjebolan hukum agrarian kolonial
dan pembangunan hukum hak atas nasional yang menghilangkan sifat dualisme hukum
sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa Indonesia.[4]
Dalam ketentuan Pasal 4 UUPA
ditentukannya bermacam-macam hak atas tanah yang berasal dari hak meguasai negara,
dalam pasal 16 yaitu berupa :
1.
Hak Milik
2.
Hak Guna-Usaha
3.
Hak Guna-Bangunan
4.
Hak Pakai
5.
Hak Sewa
6.
Hak Membuka Tanah
7.
Hak Memungut Hasil Hutan
8.
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. (Hak
Pengelolaan, Hak Milik Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan Atas Tanah, Hak Guna
Ruang Tanah dll).[5]
Dalam perkembangan ternyata banyaknya
hak atas tanah membingungkan masyarakat dan banyaknya peraturan yang
bertentangan, seperti PP No. 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dengan UUPA. UUPA mengatur bahwa HGU hanya
untuk kepentingan pertanian, perikanan atau peternakan. Sedangkan dalam PP 40/1996
menambahkan untuk kepentingan perkebunan. Asal tanah HGB, UUPA mengatur, asal
tanah HGB adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan tanah Hak Milik.
Sedangkan PP 40/1996 mengatur, tanah HGB adalah tanah negara, tanah Hak
Pengelolaan (HP) dan tanah Hak Milik (HM).[6]
Dr. Darwin Ginting Dalam Jurnal yang
berjudul Reformasi Hukum Tanah dalam Rangka Perlindungan Hak Atas Tanah
Perorangan dan Penanam Modal dalam Bidang Agrobisnis menyatakan bahwa:
“Untuk
melaksanakan perintah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun
2001 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 telah dilakukan gagasan-gagasan
ke arah reformasi hukum tanah nasional atau UUPA, baik yang digaungkan oleh
para akademisi hukum tanah, maupun oleh para politisi, termasuk para birokrasi
pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam bentuk antara lain Naskah
Akademis (academic draft) rancangan undang-undang hak tanah. Sebagaimana
diketahui bahwa upaya-upaya reformasi hukum agraria nasional sesungguhnya
pernah digagas di Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam bentuk rencana revisi
terhadap UUPA yang drafnya telah dilakukan uji publik ke beberapa kota besar di
Indonesia, namun belum terrealisasi. Dari hasil penelitian, peneliti belum
menemukan jawaban yang jelas, sehingga upaya amandemen terhadap UUPA belum
dapat diteruskan (dalam rangka untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat
sekarang ini). Sehingga perlu segera dipikirkan untuk membentuk Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Hak Atas Tanah yang berfungsi sebagai lex
spesialist dari UUPA. Hal ini perlu dikaji ulang dalam rangka memberikan perlindungan
hak-hak atas tanah baik secara perorangan maupun dalam rangka penanaman modal
bidang agrobisnis. Diharapkan melalui rancangan undang-undang ini mengatur
secara komprehensif bagaimana menata asset dan akses masyarakat terhadap tanah,
termasuk didalamnya mengatur status tanah, penyederhanaan
hak atas tanah, pengakuan hak ulayat dan perlindungan terhadap tanah-tanah
yang produktif, misalnya tanah sawah yang subur beririgasi.[7]
Seiring dengan perkembangan zaman
banyaknya hak atas tanah yang diatur dalam UUPA diatas dinilai tidak efektif
perlu disederhanakan. Seperti di Negara Malaysia berdasarkan The Land National
Code tahun 1965 jenis hak atas tanah terdiri dari Freehold Title dan Leasehold
Title[8]. Pada
saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan besar
harapan kita agar kelak bila RUU ini menjadi Undang-Undang dapat memperbaiki
hukum pertanahan negara kita khususnya mengenai penyederhanaan hak atas tanah
nasional yang sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia dan mampu menjawab
perkembangan zaman.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dengan demikian dapat ditarik beberapa pokok permasalahan
yang akan dijadikan bahan pembahasan dalam penulisan ini. Adapun beberapa pokok
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
definisi Hak Atas Tanah?
2.
Bagaimana
hak atas tanah pada masa Kolonial Belanda?
3.
Bagaimana hak atas tanah menurut UUPA?
- Bagaimana konsep penyederhanaan hak atas tanah dalam pembangunan hukum tanah nasional?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini adalah sebagai
berikut :
- Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa definisi hak atas tanah?
- Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa hak atas tanah pada masa Kolonial Belanda.
- Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa hak atas tanah menurut UUPA.
- Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa konsep penyederhanaan hak atas tanah dalam pembangunan hukum tanah nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HAK ATAS TANAH
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang
diatas sekali. Pengertian mengenai tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA sebagai
berikut :
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”
Dengan
demikian yang disebut istilah tanah dalam pasal diatas ialah permukaan bumi
sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum.
Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi (hak atas
tanah) termasuk didalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat yang
terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan hukum. Persoalan hukum yang
dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan
tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya[9].
Hak atas
tanah dalam rumusan Pasal 4 ayat (2)
adalah “wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.”
Penentuan
hubunngan tersebut berupa proses penetapan hak atas yang diminta oleh mereka
yang mengaku/memiliki tanah yang untuk dapat ditentukan macam hak yang dapat
dipunyainya sesuai bentuk dan sifat penggunaannya.[10]
Di dalam
praktek administrasi pertanahan, suatu penetapan hak atas tanah dapat berisi :
pemberian hak baru atas tanah, dan atau pembaharuan hak, perpanjangan jangka
waktu hak atas dan perubahan hak. Pemberian hak atas tanah adalah penetapan
pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka
waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak diatas hak
pengelola.[11]
B.
HAK ATAS TANAH PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Hak atas
tanah pada masa Kolonial Belanda atau sebelum UUPA pada umumnya, Hukum Agraria
sebelum berlakunya UUPA terdapat dua kutub hukum, yaitu Hukum Agraria Adat dan
Hukum Agraria Barat.
Hukum
Agraria adat, dimana hukum ini berasal dari adat istiadat atau kebiasaan
penduduk pribumi yang telah menjadi aturan atau norma yang harus dipatuhi.
Hukum ini mengenal hak atas tanah seperti hak ulayat, hak milik dan hak pakai. Hak
atas tanah menurut hukum Adat diantaranya:
1. Hak Ulayat
Hak ulayat ialah hak atas tanah
yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama sama
atau komunal. Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menguasai tanah tersebut secara menyeluruh.
2. Hak Milik dan Hak Pakai
Hak milik (adat) atas tanah adalah suatu hak atas tanah yang dipegang
oleh perorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak
ulayat masyarakat hukumadat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan
hak milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun-menurun. Hak
Pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang
telah memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang
tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak
dalam hukum adat itu berupa ladang.[12]
Hak hak
atas tanah diatas tadi merupakan macam hak atas tanah adat yang secara garis
besar atau pada umumnya. Adapun macam hak atas tanah lainnya,yaitu:
• Hak
Gogol
Hak
Gogol ialah hak seorang gogol, atas apa yang ada dalam perundang undangan agraria
dalam zaman hindia belanda dahulu, disebut komunal desa. “Hak Gogol” biasanya
disebut “Hak Sanggao”, atau “Hak Pekulen”. Untuk diketahui Hak Gogol itu
disebut hak komunal (Communal Bezit) yang dianggap sebagai tanah desa, yang
diusahakan oleh orang orang tertentu,gogol(=Kuli), sedang tanahnya disebut
tanah gogolan atau tanah Pekulen.
• Hak
Grant
Hak
Grant adalah Hak atas tanah atas pemberian Hak Raja raja kepada bangsa asing.
Hak Grant dapat disebut juga Geran Sultan, Geran Datuk atau Geran Raja.
• Hak
Hanggaduh
Hak
Hanggaduh adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan Raja. Menurut penyataan ini,
maka semua tanah Yogyakarta, adalah kepunyaan Raja, sedang Rakyat hanya
menggaduh saja. Untuk diketahui, bahwa tanah-tanah didaerah istimewa
Yogyakarta, adalah tanah-tanah yang berasal dari hak-hak yang berasal bekas Hak
Barat dan hak-hak yang berasal dari bekas Swapraja.[13]
Hukum
Agraria Barat, dimana hukum ini adalah hukum yang sengaja diterapkan oleh
Belanda sejak zaman penjajahan di Indonesia. Hukum ini juga bisa disebut Hukum
Perdata Barat, hukum ini melahirkan hak-hak atas tanah seperti hak eigendom,
hak opsal, hak arfpacth, hak gebruik. Hak atas tanah menurut hukum (Perdata)
Barat antara lain:
1. Hak
eigendom ( pasal 570 KUHPer/BW)
Hak
Eigendom adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat
terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan
undang undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan
asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Adapula, Hak eigendom atas tanah
ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum Barat. Tidaklah sama hakikatnya
hak”milik” atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata) barat ini dengan hakikat
hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini. Dengan hak eigendom
atas tanah, pemilik (eignaar) tanah yang bersangkutan mempunyai hak “mutlak”
atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi hukum barat itu
dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan
perorangan daripada kepentingan umum maupun kebendaan daripada keahlakan.
2. Hak
opstal ( pasal 711 KUHPer/BW )
Hak
opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman
diatas sebidang tanah orang lain . Adapun, Hak Opstal ialah suatu hak yang
memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang
terdapat di atas tanah eigendom orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah
kepunyaan “eignaar” tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki
itu misalkan rumah atau bangunan, tanaman dan sebagainya.
3. Hak
erfpacht ( pasal 720 KUHPer/BW )
Hak
erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang lain dan
menarik manfaat atau hasil yang sebanyak banyaknya dari tanah tersebut. Di
samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang
hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan haknya itu kepada orang
lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan mengalihkannya pula kepada ahli
warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya.
4. Hak
Gebruik ( pasal 818 KUHPer/BW )
Hak
gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagai hak pakai atas tanah orang lain
(gebruik =pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya
bagi diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik ini boleh
pula tinggal di atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku haknya itu.[14]
C.
HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
Sebelum kita
membahas hak atas tanah dalan UUPA ada baiknya kita meninjau secara singkat sistem
hukum pertanahan menurut UUPA. Sistem hukum pertanahan adalah keseluruhan hukum
pertanahan, yaitu bumi dan kekayaan alam yang ada di atasnya termasuk tubuh
bumi dibawahnya. Keseluruhan hukum pertanahan ini terdapat elemen-elemen, yang
terdiri dari atas struktur hukum pertanahan sutruktur hukum pertanahan,
substansi hukum pertanahan dan kultur hukum pertanahan, termasuk didalamnya
mengenai pengaturan pengaturan normatif yang terdiri atas hukum pertanahan
menurut regulasi hukum barat, hukum adat, hukum nasional, maupun pengaturan
menurut hukum keagamaan. Kesemuanya saling kait-mengakait dan bersifat fungsional,
apabila salah satu sub-sistem atau elemen tersebut tidak berfungsi, maka dapat
dipastikan seluruh sistem hukum pertanahan tidak akan berfungsi pula.[15]
Esensi
hukum pertanahan menurut UUPA adalah : pertama,
susunan kehidupan rakyat dan perekonomian masih agraris sehingga bumi, air dan
ruang angkasa yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan mempunyai peranan yang penting untuk mengantarkan rakyat Indonesia menuju
masyarakat adil dan makmur; kedua,
hukum pertanahan peninggalan Hindia Belanda yang berlaku, sampai lahirnya UUPA substansinya
bertentangan dengan kepentingan rakyat, bersifat dualisme bahkan pluralism dan
tidak menjamin kepastian hukum; Ketiga, perlu diciptakan hukum pertanahan
nasional yang bedasarkan hukum adat; dapat menjamin kepastian hukum, adil,
tidak bernuansa liberal dan tidak mengabaikan hukum agama.[16]
Apabila
UUPA ditelaah secara lebih intensif dan integral, ditemukan 8 (delapan) prinsip
dari UUPA yaitu sebagaimana diuraikan berikut ini :[17]
1.
Prinsip
unifikasi hukum pertanahan
2.
Prinsip
penyataan domein dan hak menguasai negara
3.
Prinsip
fungsi sosial hak atas tanah
4.
Prinsip
atas pengakuan terhadap hukum adat dan pengakuan atas eksistensi hak ulayat
5.
Prinsip
persamaan derajat sesama warga negara
6.
Prinsip
nasionalitas
7.
Prinsip
reformasi pertanahan
8.
Prinsip
kepastian hukum.
UUPA
menghapus asas domein dan diganti dengan azas hak menguasai dari negara seperti
tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 2 UUPA.[18]
Pada
pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum
(algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu
pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang
adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar
(pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak cigendom orang lain diatasnya.[19]
Pasal 2
UUPA
(1).
Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2).
Hak
menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
(3).
Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Selain
hak menguasai negara UUPA juga mengakui eksistensi hak ulayat seperti yang
termuat dalam Pasal 3 UUPA :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.”
Antara
pesekutuan dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan yang erat sekali,
hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan erat
dan bersifat religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan dan/atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah tesebut serta
juga berburu binatang-binatang yang hidup disitu.[20]
Hak
ulayat disebut juga hak persekutuan, hak pertuanan. Hak ini oleh Van
Vollenhoven disebut sebagai “beshikkingsrecht”. Beshikkingsrecht itu
menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dengan tanah itu sendiri.[21]
Van Vollenhoven di dalam bukunya “Miskenning In Het Adatrecht” dan “De
Indonesier En Zijn Grond” dapat disimpulkan adanya 6 (enam) ciri-ciri dari hak
persekutuan atas tanah atau hak ulayat, yaitu:[22]
1.
Persekutuan
dan anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala
sesuatu yang ada di dalam tanah dan yang tumbuh serta hidup diatas tanah
ulayat.
2.
Hak
individu diliputi hak persekutuan.
Dalam hubungan antara hak persekutuan dan
perseorangan terkenal pendapat dari Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, B.Zn yang
disebut teori bola, dimana menurut teori ini ditegaskan:
“Hubungan
antara hak persekutuan dan hak individual adalah bersifat timbal balik yang
berarti semakin hak individual atas sebidang tanah maka semakin lemah hak
persekutuan atas tanah itu dan sebaliknya semakin lemah hak perseorangan atas
sebidang tanah maka semakin kuat hak persekutuan atas tanah tersebut”.
3.
Pimpinan
persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan dan menggunakan
bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum. Dan terhadap
tanah ini tidak diperkenankan diletakan hak perorangan.
4.
Orang
asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah ulayat harus terlebih dahulu
meminta ijin dari kepala persekutuan dan harus membayar uang pengakuan dan
setelah panen harus membayar uang sewa.
5.
Persekutuan
bertanggngjawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
6.
Larangan
mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat, artinya baik persekutuan maupun
anggota-anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah
ulayat sehingga persekutuan sama sekali hilang wewenangnya atas tanah tersebut.
Setelah
hak menguasai negara dan hak ulayat UUPA mengatur hak perorangan atas Tanah
yang terdiri dari[23]
:
1.
Hak atas
tanah
yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberi
wewenang bagi subjeknya
untuk menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak
atas tanah terdiri atas :
a. Hak atas tanah Orisinal atau Primer
yaitu
hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh
Negara dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak. Hak atas tanah yang
termasuk hak primer adalah: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak
Pakai, Hak Pengelolaan.
b. Hak atas tanah Derivatif atau Sekunder
yaitu
hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa Indonesia dan
diberikan pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian
hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas
tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu: Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Gadai, Hak Menumpang.
2.
Hak
Jaminan atas Tanah
yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya tetapi memberikan wewenang
untuk menjual lelang tanah tersebut apabila pemilik tanah tersebut (debitur)
melakukan wanprestasi. Hak-hak jaminan atas tanah menurut hukum tanah nasional
adalah Hak Tanggungan yang diatur dengan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Uraian
Mengenai Hak atas Tanah dalam UUPA:
1.
Hak
Milik
Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun
temurun, terkuat dan terpenuh. Kata “terkuat” dan “terpenuh” tidak berarti
bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan
tidak terbatas seperti Hak Eigendom, akan tetapi kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan
untuk membedakan dengan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara
hak-hak atas tanah maka Hak Milik yang terkuat dan terpenuh.[24]
2.
Hak Guna
Usaha
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara selama jangka waktu tertentu guna usaha pertanian,
perikanan, perkebunan dan peternakan.[25]
3.
Hak Guna
Bangunan
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dalam jangka waktu
tertentu (pasal 35 ayat 1 UUPA).[26]
4.
Hak
Pakai
Hak Pakai (pasal 41 UUPA) adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
surat keputusan pemberian haknya (tanah negara) atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah (tanah milik orang lain). Dapat disimpulkan bahwa Hak Pakai adalah
hak atas tanah bangunan dan tanah pertanian. Kata
“menggunakan”, menunjukkan bahwa tanah itu dapat digunakan untuk bangunan
(sebagai wadah); kata “memungut hasil” menunjukkan bahwa tanah dapat digunakan
untuk usaha pertanian (sebagai faktor produksi).[27]
5.
Hak
Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang
memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :
a. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan
tanahnya;
b. Menggunakan tanah untuk keperluan sendiri;
c. Menyerahkan bagian dari tanahnya kepada pihak
ketiga menurut persyaratan yang telah ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang
meliputi segi peruntukkan, segi penggunaan, segi jangka waktu dan segi
keuangannya.
Setelah jangka waktu hak atas tanah yang
diberikan kepada pihak ketiga itu berakhir maka tanah tersebut kembali lagi ke
dalam penguasaan sepenuhnya pemegang Hak Pengelolaan dalam keadaan bebas dari
hak-hak yang membebaninya.[28]
6.
Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak yang memberi wewenang
untuk menggunakan tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada
tiap-tiap waktu tertentu. Hak sewa ini dalam hukum adat dikenal dengan istilah
“jual tahunan”.[29]
7.
Hak
Gadai
Hak Gadai adalah hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah milik orang lain yang telah menerima uang gadai
daripadanya, yang memberi wewenang kepadanya untuk menggunakan atau mengambil
manfaat dari tanah tersebut.[30]
8.
Hak
Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak seseorang atau
badan hukum (Penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
kepunyaan pihak lain (pemilik), dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi di
antara keduanya menurut imbangan yang telah disetujui.[31]
9.
Hak
Menumpang
Hak Menumpang adalah hak yang memberi kepada seseorang untuk mendirikan
dan menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain (istilah: numpang
sari/magersari). Hak menumpang ini sebenarnya termasuk species Hak Pakai, akan
tetapi pada Hak Menumpang hubungan hukumnya lemah, mudah diputuskan oleh
pemilik tanah pekarangan, karena dalam hak menumpang ini tidak dikenal bayaran
(gratis).[32]
D. KONSEP
PENYEDERHANAAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN HUKUM TANAH NASIONAL
Seperti
telah diuraikan dalam latar belakang diatas Dr. Darwin Ginting mengatakan:
“…upaya amandemen terhadap UUPA belum dapat
diteruskan ... Sehingga perlu segera dipikirkan untuk membentuk Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Hak Atas Tanah yang berfungsi sebagai lex
spesialist dari UUPA. Hal ini perlu dikaji ulang dalam rangka memberikan
perlindungan hak-hak atas tanah baik secara perorangan maupun dalam rangka
penanaman modal bidang agrobisnis. Diharapkan melalui rancangan undang-undang
ini mengatur secara komprehensif bagaimana menata asset dan akses masyarakat
terhadap tanah, termasuk didalamnya mengatur status tanah, penyederhanaan
hak atas tanah, pengakuan hak ulayat dan perlindungan terhadap tanah-tanah
yang produktif, misalnya tanah sawah yang subur beririgasi”
Sehingga penyederhanaan hak atas tanah tidak dilakukan dengan
amandemen UUPA tetapi dengan membentuk perundang-undangan tentang hak atas
tanah sebagai lex spesialis UUPA. Pada saat ini tengah dibahas mengenai RUU
tentang Pertanahan, dalam konsideran menimbang poin c disebutkan “bahwa Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang pertanahan dalam pokok-pokoknya perlu
dilengkapi sesuai dengan perkembangan yang terjadi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat”. Dalam RUU ini diatur mengenai hak atas sehingga yang
pertama akan kita akan bahas adalah hak
atas tanah dalam RUU.
Hak Atas Tanah menurut RUU ini adalah kewenangan yang timbul dari
hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah, dan/atau ruang
di dalam tanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula ruang
di bawah tanah, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaannya.
Macam Hak Atas Tanah dalam RUU tentang Pertanahan (Pasal 19) terdiri
atas:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai; dan
5. Hak Sewa Untuk Bangunan.
Dalam Pasal 1 Angka (7) RUU Pertanahan “Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria”. Dalam RUU ini hak atas tanah tidak jauh berbeda dengan
yang ada dalam UUPA karena dalam Penjelasan Umum RUU ini disebutkan Bahwa “
Dalam rangka melengkapi dan menjabarkan pengaturan bidang pertanahan,
mempertegas penafsiran, dan menjadi “jembatan antara” untuk meminimalkan ketidaksinkronan
antara UUPA dengan peraturan perundang-undangan sumber daya alam terkait bidang
pertanahan”.
Setelah kita mengetahui hak atas tanah dalam RUU Pertanahan maka ada
baiknya kita mengetahui hak atas tanah di negara tetangga yaitu di Malaysia dan
Filipina. Di negara Malaysia berdasarkan The Land National Code tahun 1965
jenis hak atas tanah terdiri dari Freehold Title dan Leasehold Title[33].
“A Freehold title means the land owner
(and any of their beneficiaries) owns the property outright in perpetuity
(which is legalese for "until the world ends")”[34]
jadi freehold title dapat diartikan sebagai hak milik. “When the state land is disposed of by the state authority to an
individual for a term of years, by virtual of law, not exceeding 99 years, this
land is now granted as leasehold title. Upon expiry of the period of the lease,
the land should be reverted to the state authority”[35],
jadi leasehold title dapat diartikan sebagai hak pakai.
Di Filipina hak atas tanah dibagi menjadi Public Land dan Private
land. Public land (tanah publik) merupakan tanah yang dimiliki oleh negara,
sedangkan private land (tanah pribadi) ialah bagian tanah yang ada pemiliknya,
yang pada mulanya merupakan sebagian dari public land, yang dengan title yang
sah telah diberikan kepada individu oleh pemerintah.[36]
Di Filipina, sebidang tanah yang dimiliki, didiami dan dikerjakan oleh
seseorang untuk waktu yang tidak dapat diingat lagi, tapi orang itu tidak dapat
menunjukan bukti pemilikan dalam bentuk titel yang sah maka tanah itu dianggap
public land, kecuali dibuktikan di pengadilan.[37]
Jika diperhatikan di Filipina, maka tanah-tanah di Filipina merupakan tanah
milik negara dan ini dikenal dengan istilah public domain. Dengan public domain
negara adalah pemilik tanah dan sebagai konsekuensinya, negara dapat menyewakan
tanah public domain ini seperti yang diatur dalam pasal 2 dan pasal 40 RA No. 6657
dan juga dapat meredistribusikan tanah ini kepada para petani penerima.[38]
Sri Hayati dalam abstract
jurnal yang berjudul Penyederhanaan Macam Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaharuan
Hukum Agraria Nasional menyatakan bahwa:
“Macam-macam hak atas tanah dalam sistem
pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA dibedakan dalam dua
katagori : (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara
dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak atas
tanah lain berdasarkan perjanjian bersama, kemudian dikembangkan menjadi 4 (empat)
hak atas tanah, yaitu Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak Pakai. Pengaturan HGU dan
HGB dalam UUPA menunjukkan bahwa UUPA tidak konsisten, karena HGU dan HGB
sebetulnya merupakan hasil konversi dari hak opstal dan hak erfpacht. Kalau
mendasarkan diri pada hukum adat, maka hak atas tanah itu hanya hak milik dan
hak untuk menggunakan tanah baik tanah negara maupun tanah hak milik orang lain
(yang idealnya disebut hak pakai).”[39]
Prof Sri Harjati dalam tulisannya yang berjudul Minimalisir
Permasalahan dengan Penyederhanaan Hak menyatakan bahwa :
“Ketidaksingkronan pengaturan HGU dalam PP 40/1996 dengan UUPA yaitu,
Pemanfaatan tanahnya, UUPA mengatur bahwa HGU hanya untuk kepentingan
pertanian, perikanan atau peternakan. Sedangkan dalam PP 40/1996 menambahkan
untuk kepentingan perkebunan.
Asal tanah HGU, UUPA mengatur, asal tanah HGU adalah tanah yang
dikuasai langsung oleh negara. Sedangkan dalam PP 40/1999 mengatur, asal tanah
HGU adalah tanah negara, kawasan hutan yang telah dikeluarkan statusnya sebagai
kawasan hutan, dan tanah hak pihak lain yang telah dilepaskan haknya oleh
pemegang haknya.
Ketidaksingkronan pengaturan HGB dalam PP 40/1996 dengan UUPA, Asal
tanah HGB, UUPA mengatur, asal tanah HGB adalah tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dan tanah Hak Milik. Sedangkan PP 40/1996 mengatur, tanah HGB
adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan (HP) dan tanah Hak Milik (HM).
Terjadinya HGB, UUPA mengatur, HGB yang berasal dari tanah negara
terjadi dengan penetapan pemerintah sedangkan HGB yang berasal dari tanah HM
terjadi dengan perjanjian otentik. PP 40/1996 mengatur HGB yang berasal dari
tanah negara terjadi dengan keputusan pemberian hak, HGB yang berasal dari
tanah HM terjadi dengan akta pemberian hak oleh Pejabat Pembuat Akta Tnah
(PPAT), dan HGB yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan terjadi dengan
pemberian hak berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
Ketidaksingkronan pengaturan HP dalam PP 40/1996 dengan UUPA, yaitu
Subyek HP , UUPA mengatur, subyek HP adalah WNI, orang asing yang berkedudukan
di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Sedangkan PP 40/1996 mengatur, subyek HP adalah WNI,
orang asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia, Departemen, Lembaga Non Departemen,
Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal tanah HP, UUPA mengatur asal tanah HP, tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dan tanah milik orang lain. Sedangkan dalam PP 40/1996
mengatur asal tanah HP, tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah HM.
Terjadinya HP, UUPA mengatur, HP yang berasal dari tanah negara
terjadi dengan keputusan pemberian hak dan HP yang berasal dari tanah HM orang
lain terjadi melalui perjanjian dengan pemilik tanah. Sedangkan dalam PP
40/1996 mengatur, HP yang berasal dari tanah negara terjadi dengan keputusan
pemberian hak, HP yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan terjadi melalui
keputusan pemberian hak berdasarkan usulan dari pemegang hak Pengelolaan dan HP
yang berasal dari tanah HM terjadi dengan akta pemberian hak yang dibuat oleh
PPAT.
Pembebanan Hak Tanggungan, UUPA mengatur bahwa HP tidak dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sedangkan dalam PP
40/1996 mengatur, HP atas tanah negara dan HP atas tanah Hak Pengelolaan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.”[40]
Dan Prof Sri Harjati memberikan solusi sebagai
berikut:
“maka macam-macam hak atas tanah diatas perlu dilakukan
restrukturisasi dalam bentuk penyederhanaan jenis hak atas tanah. Alasannya,
penyederhanaan jenis hak atas tanah menjadi dua yaitu HM dan hak untuk
menggunakan tanah. Hal ini konsisten dengan dasar pembentukan Hukum Agraria
Nasional adalah Hukum Adat.
Selain juga berdasarkan pandangan bakwa Hukum Adat adalah hukum yang
sederhana, maka dengan penyederhanaan jenis hak atas tanah akan memudahkan
masyarakat untuk memahaminya.
Hak-hak atas tanah yang ada nantinya tidak lagi mengadopsi dari BW,
Dengan penyederhanaan pula, jenis hak atas tanah diharapkan tidak menimbulkan
keracuan. Sehingga dapat menjadi daya tarik bagi perusahaan penanam modal untuk
menanamakan modalnya di Indonesia.
Selain yang terpenting juga dapat memangkas jenjang birokrasi dalam
memperoleh hak atas tanah. Dan untuk membedakan pemberian kewenangan atas
Negara kepada pemilik tanah atau pihak lain berdasarkan hak untuk menggunakan
atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.”[41]
Adanya hak-hak atas tanah lain yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, namun
belum ditentukan dan diselenggarakan administrasi pertanahan dan pendaftarannya
antara lain:
1. Hak sewa
2. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
3. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut diatas (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah
pertanian)
4. Hak guna air, pemeliharaan, dan penangkapan
ikan
5. Hak guna ruang angkasa
6. Hak milik atas satuan rumah susun
7. Hak guna ruang atas dan bawah tanah
8. Hak tanggungan atas tanah
9. Hak pengelolaan
10. Penyelesaian tanah dan bangunan P3MB Prk.
5/1965[42]
Tidak seperti pada UUPA dilahirkan, yang anti modal asing, maka pada
saat ini kehadiran modal asing telah menjadi kebutuhan bangsa ini. Oleh sebab
itu UUPA memerlukan reinterpretasi secara kontekstual, karena secara ideologis
doktrin land to tiller tidak lagi
menjadi kenyataan. Tanah sudah menjadi komoditas untuk diperebukan dalam pasar
bebas. Para petani tidak lagi berhadapan dengan tuan-tuan tanah, tetapi
berhadapan dengan modal besar dalam industri serta orang-orang kaya kota yang
memborong tanah. Tanah berubah nilai menjadi saham-saham yang setiap saat dapat
diperjualbelikan lewat pasar modal. Gerakan landreform
selama 5 (lima) tahun pertama UUPA tidak dapat dilaksanakan karena
ketidaksiapan pemerintah dalam melaksanakannya dan pertarungan politik. Pada
masa orde baru program pertanian dialihkan dengan lebih menekankan produksi
pangan tanpa pengubah struktur pemilikan dan penguasaan tanah.[43]
Mahfud MD menyatakan bahwa perkembangan karakter produk hukum
senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik.
Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk
hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis,
maka karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik.
Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter, maka produk
hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.[44]
Pada era reformasi ini adalah saat yang tepat untuk menghasilkan
produk hukum yang responsif. Berbagai pemikiran tentang penyederhanaan hak atas
tanah akan muncul dengan bebas sehingga kelahiran perundang-undangan yang
mengatur penyederhaan hak atas tanah pada era reformasi diharapkan akan lebih
baik, responsif dan sinkron. Baik dengan mengganti UUPA maupun dengan membuat
UU Pertanahan yang terpenting adalah dapat menyederhanakan hak atas tanah dan
menyelesaikan persolan-persolan pertanahan lainnya.
Walaupun sudah ada RUU pertanahan yang merupakan penjabaran dari UUPA
yang dimana hak atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan, yang bila dilihat dari
penyederhanaan hak atas tanah memang lebih simple
bila dibandingkan dengan hak atas tanah dalam UUPA. Namun bila dibandingkan
dengan hak atas tanah di Negara tetangga yang hanya ada dua hak atas tanah maka
ada baiknya hak atas tanah di Indonesia hanya ada hak milik dan hak pakai
seperti yang ada dalam hukum adat (seperti yang kemukakan oleh Prof. Sri
Harjati)
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
UUPA
yang merupakan karya agung Bangsa Indonesia di bidang hukum ternyata menyimpan
persoalan dengan banyaknya macam-macam hak atas tanah. Macam-macam hak atas
tanah yang ada di dalam UUPA membuat administrasi pertanahan menjadi rumit dan
sulit dipahami oleh masyarakat bahkan ada hak-hak atas tanah dalam UUPA belum
ada ketentuan dan pelaksanaan administrasinya. Oleh sebab itu perlu diadakan
revisi/penggantian UUPA atau pembuatan Undang-Undang pertanahan yang mengatur
hak atas dengan lebih sederhana. Seperti yang kemukakan oleh Prof Sri Hajati
yang hanya ada hak milik dan hak pakai seperti dalam hukum adat. Di negara
Malaysia hanya ada Freehold Title dan Leasehold Title.
B.
SARAN
Diharapkan
pemerintah mempunyai kemauan politik untuk melakukan reformasi pertanahan dalam
hal administrasi pertanahan terlebih dahulu, setelah administrasi pertanahan
berjalan dengan baik maka dapat dilakukan reformasi pertanahan yang menyentuh
hal lainnya. Sehigga apabila dilakukan penyederhanaan hak atas tanah akan
berjalan dengan lancar tanpa hambatan birokrasi.
[1]
Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Jakarta
: Media Abadi, 2005, Hlm. 26-27
[2]
Ibid Hlm. 32
[3]
Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, Hlm.
332-333
[4]
Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Bogor :
Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, Hlm 39.
[5]
Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam
Praktek, Bandung : Mandar Maju, 2013, Hlm. 84.
[6] Prof.
Dr. Sri Hajati, SH, MS, Minimalisir Permasalahan dengan Penyederhanaan Hak, http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296222c03ba4f598c80effb2307fae17dbee
diakses 19 Mei 2014.
[7]
Darwin Ginting, Reformasi Hukum Tanah dalam Rangka Perlindungan Hak Atas Tanah
Perorangan dan Penanam Modal dalam Bidang Agrobisnis, Jurnal Hukum No. 1 Vol.
18 Januari 2011: 63 - 82
[8] Agus
Setyadi Hadisusilo, Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang
Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau Batam Dengan Orang Asing Di Negara
Malaysia (Tesis). Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang, 2009.
[9]
Supriadi, Hukum Agraria,Jakarta : Sinar Grafika, 2009, Hlm. 3
[10] Rusmadi
Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Bandung
: Mandar Maju, 2013, Hlm. 83.
[11]
Ibid. Hlm 85
[12] http://suflasaint.blogspot.com/2010/12/hak-hak-atas-tanah-seelum-uupa.html
diakses tanggal 17 Mei 2014.
[13]
Ibid
[14]
Ibid
[15] Darwin
Ginting, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Bogor : Penerbit
Ghalia Indonesia, 2010, Hlm 50.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid. Hlm 54-57
[18] Syamsul
Rizal, Kebijaksanaan Agraria Sebelum Dan Sesudah Keluarnya UUPA (Jurnal),
Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara, 2003
[19]
Ibid
[20]
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Bandung:
Alfabeta, 2013. Hlm 311
[21]
Ibid. Hlm. 312
[22]
Ibid, Hlm 312-313.
[23]
Aries S. Hutagalung dkk, Hukum pertanahan di Belanda dan Indonesia, Denpasar: Pustaka
Larasan, 2012, Hlm 162-163.
[24]
Ibid.Hlm. 164
[25]
Ibid, Hlm, 167
[26]
Ibid, Hlm. 170
[27]
Ibid, Hlm. 173
[28]
Ibid, Hlm. 176
[29]
Ibid, Hlm. 178
[30]
Ibid. Hlm. 79
[31]
Ibid, Hlm 181
[32]
Ibid, Hlm 182.
[33] Agus Setyadi Hadisusilo, Perbandingan Hukum
Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau
Batam Dengan Orang Asing Di Negara Malaysia (Tesis). Program Studi Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2009.
[35] http://www.hba.org.my/faq/lease_freehold.htm
Diakses 18 Mei 2014
[36]
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya Dengan Landreform di
Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990, Hlm. 56
[37]
Ibid
[38]
Ibid, Hlm. 55
[39] Sri
Hayati, Penyederhanaan Macam Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaharuan Hukum
Agraria Nasional (Jurnal), Media YURIDIKA Volume : 21 - No. 3 - 2006-05-00.
[40] Prof.
Dr. Sri Hajati, SH, MS, Minimalisir Permasalahan dengan Penyederhanaan Hak,
http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296222c03ba4f598c80effb2307fae17dbee
diakses 19 Mei 2014.
[41]
Ibid
[42] Rusmadi
Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek,
Bandung : Mandar Maju, 2013
[43]
Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Jakarta: Konstitusi Press, 2013
[44] Moh.
Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, Hlm. 363
Tidak ada komentar:
Posting Komentar