Rabu, 14 Desember 2016





IMPLIKASI PUTUSAN MK NOMOR 003/PUU-IV/2006 TERHADAP POLITIK KHUSUSNYA PEMBERANTASAN KORUPSI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Cita-cita negara yang untuk melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa nampaknya hanya angan-angan belaka. Hal ini terjadi karena merajalelanya kasus korupsi yang terjadi sejak repubik ini berdiri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, ketika Indonesia dinyatakan oleh Presiden berada dalam Keadaan Darurat Perang (Staat van Oorlog en Van Beleg) melalui Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957  dalam rangka mengatasi pemberontakan, Penguasa Militer yang berkuasa berniat pula untuk memberantas korupsi yang merajalela dengan menerbitkan peraturan-peraturan:
1.      Prt/PM-06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi, tanggal 9 April 1957;
2.      Prt/PM-08/1957 Tentang Penilikan Terhadap Harta Benda, Tanggal 27 Mei 1957;
3.      Prt/PM-011/1957 Tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang, tanggal 1 Juli 1957.[1]
Berbagai peraturan telah diterbitkan untuk memberantas korupsi, sampai pada masa orde baru terbit UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ternyata UU ini tidak mampu untuk memberantas korupsi pada masa orde baru bahkan semakin mernggurita. Pada era reformasi terbit UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harapan pemberantasan korupsi di Bumi Nusantara kembali muncul. Ketentuan dalam UU ini bak alat penangkap ikan dengan yang menggunakan kain blancu sehingga mampu menjaring kuman-kuman terkecil sekalipun.[2]
Namun dalam perjalanannya UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001  dalam memberantas korupsi banyak menghadapi tantangan mulai dari isu mengamandemen atau mengganti UU ini sampai di yudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya adalah Ir. Dawud Djatmiko menggugat UU No. 31/1999 ke Mahkamah Konstitusi. Ia ditahan sejak tanggal 28 Juni 2005 dengan tuduhan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 serta Pasal 15 UU No. 31/1999 ketika melaksanakan proyek pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) ruas Taman Mini Indonesia Indah – Cikunir, menurut penggugat, pasal-pasal yang dituduhkan kepadanya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[3]
Pada hari selasa tanggal 25 Juli 2006 Mahkamah Konstitusi mengelar sidang pembacaan putusan perkara No. 003/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. Dawud Djatmiko yang menjadi pokok permohonan adalah apakah Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata ”dapat”), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata ”percobaan”) UU PTPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yaitu menyatakan bahwa :
Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidanabertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidanatidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;”

Putusan ini membawa implikasi terhadap politik khususnya politik hukum apakah putusan MK ini dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak. Mengingat bahwa walaupun MK merupakan lembaga tinggi negara yang putusannya mengikat tetapi pada kenyataannya eksekusi putusan MK tidak dapat berjalan dengan semestinya  karena tidak ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK. Tidak seperti vonis Pengadilan Negeri yang memvonis terdakwa dengan penjara 5 (Lima) Tahun penjara maka kejaksaan negeri yang akan mengeksekusinya.
Terhadap pemberantasan korupsi putusan ini juga mempunyai impilkasi yang cukup besar, dengan putusan ini tindakan korupsi yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat dipidana. Mengingat semakin canggihnya teknik yang dilakukan oleh para koruptor dalam mengerogoti uang negara dan hukum yang selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat sehingga peluang untuk menghukum koruptor dengan norma hukum yang tidak tertulis menjadi tertutup. Seperti yang diungkapkan oleh Von Savigny “ “kodifikasi hukum selalu membawa serta efek yang negatif, yakni menghambat perkembangan hukum, sejarah berkembang terus, tetapi hukum sudah ditetapkan”.[4]

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Dengan demikian dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan pembahasan dalam penulisan ini. Adapun beberapa pokok permasalahan tersebut adalah
1.      Bagaimana implikasi putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 terhadap politik Khusunya pemberantasan korupsi.
2.      Bagaimana pelaksanaan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Menurut R. Subekti dan R Tjitrosoedibio pengadilan (rechtsbank, court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dn memutusi sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak, judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakan hukum dan keadilan. Dengan demikian, berarti pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya.[5]
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:[6]
1.      Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.      Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.      Memutus pembubaran partai politik, dan
4.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:[7]
1.      Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a.       penghianatan terhadap negara;
b.      korupsi;
c.       penyuapan;
d.      tindak pidana lainnya;
2.      atau perbuatan tercela, dan/atau
3.      tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengujian undang-undang menempatkan undang-undang sebagai objek peradilan, yang jika undang-undang itu terbukti bertentangan dengan undang-undang dasar, maka sebagian materi ataupun keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum.[8]
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Maksud dari pengujian undang-undang terhadap UUD adalah agar keseluruhan norma hukum dalam negara hukum Republik Indonesia benar-benar mencerminkan cita-cita hukum atau rechtsidee yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi di negara hukum Republik Indonesia.[9]
Mahkamah Konstitusi juga menciptakan suatu norma baru dengan dihapuskannya norma yang lama itu. Karena itu Hans Kelsel menyebut fungsi demikian ini sebagai negative legislator yang sangat berbeda dari parlemen yang menjalankan fungsi sebagai positive legislator.[10]

2.2. PENGERTIAN POLITIK HUKUM

Menurut Miriam Budiardjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decisionmaking) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.[11]
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber atau resourses yang ada.[12]
Untuk melaksnakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals). Dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagi pula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu).[13]
Menurut Mahfud MD Politik Hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan  yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.[14]

2.3 PENGERTIAN KORUPSI
Lord Acton mengungkapkan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolute cenderung korupsi absolute. Pendapat ini mengingatkan bahwa di mana pun dibelahan bumi kekuasaan selalu sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi.[15]
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpere, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itu itulah turun ke banyak bahasa eropa seperti Inggris yaitu, corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, patut diduga istilah korupsi dalam bahasa Indonesia  berasal dari bahasa Belanda. Pengertian korupsi secara harfiah menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N. Kramer ST. mengartikan korupsi sebagai; busuk, rusak, atau dapat disuap.[16]
Menurut Gurnar Myrdal “korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.[17]
Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek tergantung dari disiplin ilmu yang dipergunakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste korupsi didefinisikan 4 jenis:[18]
1.      Discretionary Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2.      Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3.      Mercenary Corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalagunaan wewenang dan kekuasaan.
4.      Ideological Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Piers Beirne dan James Messerchmidt menjelaskan mengenai empat tipe perbuatan korupsi yang berkaitan erat dengan kekuasaan, yaitu:[19]
1.      Political Bribery adalah kekuasaan di bidang legislative sebagai badan pembentuk undang-undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana. Di mana individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka.
2.      Political Kickbacks adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak.
3.      Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelasanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum.
4.      Corrupt Campaingn Practiced adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.
Menurut Dyatmiko Soemodiharjo dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001  korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokan sebagai berikut:[20]
1.      Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara.
2.      Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, yaitu menyap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima suap.
3.      Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang negara atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusak bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.
4.      Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri lain.
5.      Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/Polri berbuat curang; pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang; menerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara.
6.      Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.
7.      Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1     IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 003/PUU-IV/2006 TERHADAP POLITIK HUKUM KHUSUNYA PEMBERANTASAN KORUPSI

Masalah pokok yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah konstitusi dalam permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945 adalah apakah Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata ”dapat”), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata ”percobaan”) UU PTPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[21]
Putusan dari perkara diatas adalah :
a.       Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
b.      Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pertimbangan hukum yang dijadikan landasam MK dalam memutus perkara diatas adalah:[22]
a.       Tentang Kata “Dapat”
kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
MK berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.
Menurut MK hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberadaan kata ”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana.
Bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran MK di atas (conditionally constitutional).
Menimbang bahwa oleh karena kata ”dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan.
b.      Tentang Unsur Melawan Hukum (wederrechtelijkheid)
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Berkaitan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah pula dikuatkan dalam Butir E Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan:
·         Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
·         Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut;
·         Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
·         Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
·         Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta;
·         Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;
Berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam persidangan.
Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
c.       Tentang Percobaan
Pasal 15 UU PTPK yang juga dimohon untuk diuji berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Ketentuan tersebut oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagai akibat rumusan yang demikian percobaan untuk melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK ancaman pidananya disamakan dengan delik yang telah selesai (voltoid delict).
Hal tersebut menurut MK tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan, karena hal ini merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan oleh sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Rumusan Pasal 15 UU PTPK, yang merupakan pencerminan legal policy pembentuk undang-undang, dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di Indonesia telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.
Mengkualifikasikan percobaan sebagai delik yang sudah selesai (voltoid delict) merupakan pengecualian yang dibenarkan menurut Pasal 103 KUHP sehingga ketentuan Pasal 15 UU PTPK tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dimaksudkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Prof. Krisna Harahap putusan Mahkamah Konstitusi itu upaya pemberantasan korupsi akan semakin berat mengingat masalah masalah pembuktian yang selama ini sudah dirasakan sulit akan semakin berat dikemudian hari karena seseorang dikatakan telah melakukan tindakan pidana korupsi manakala dapat dibuktikan bahwa orang yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur melakukan perbuatan tindak pidana korupsi hanya seperti diatur dalam undang-undang.[23]
Sejalan dengan putusan MK itu, tugas para hakim menjadi semakin berat dalam menemukan kebenaran materiel. Oleh karena itu, keyakinan seorang hakim dan prinsip bahwa hakim bukan corong undang-undang dan hakim berwenang menciptakan hukum, menjadi semakin penting.[24]
Lebih lanjut Prof. Krisna menyatakan bahwa muncul banyak pertanyaan mengapa Mahkamah Konstitusi memutuskan hal yang tidak diminta oleh pemohon. Karena di dalam permohonannya, pemohon sebenarnya hanya mempersoalkan frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31/1999.[25]
Hal lain yang menunjukan ketidakcermatan Mahkamah Konstitusi muncul takala putusan MK tersebut mengutip seutuhnya penjelasan Pasal 2 ayat (1) sehingga dengan terkutipnya frasa “pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil…” bukan hanya perbuatan melawan hukum dalam ari materiil saja yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga perbuatan melawan hukum dalam arti formil. Apabila kehendak Mahkamah  Konstitusi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dan formil maka tamatlah riwayat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.[26]
Jauh sebelum Putusan MK pada Tahun 2006 kata “melawan hukum” secara luas itu sesuai dengan pengertian perkataan “onrechtmatig” dalam Pasal 1365 B.W. Dalam hal ini Profesor POMPE menunjuk pada arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 N.J.1919 halaman 161, W. 10365 yang menyangkut Pasal 1365 B.W. di mana Hoge Raad telah memasukkan juga ke dalam pengertian “onrechtmatig” yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, berupa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan.[27]
Menurut keputusan Hoge Raad tersebut yang dimaksud dengan suatu perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum (onrechtmatig daad) ialah membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu) yang:[28]
·         melanggar hak subjectif orang lain;
·         bertentangan dengan kewajiban-kewajiban (rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu;
·         bertentangan dengan kesusilaan dan asas-asas pergaulam kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang orang lain.
Sehingga putusan MK tersebut juga telah menganulir arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 yang telah berlaku kurang lebih 87 tahun di mana Hoge Raad telah memasukkan juga ke dalam pengertian “onrechtmatig” yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis atau perbuatan hukum dalam arti materiil.
Secara politik putusan MK tersebut telah membuat putusan yang bertantangan dengan semangat awal pemberantasan korupsi, dimana tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana luar biasa ditangani dengan peraturan yang biasa seperti kejahatan lainnya. Padahal maksud dari dimasukannya rumusan ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah untuk mengantisipasi tidak pidana korupsi yang semakin canggih sehingga perbuatan tersebut belum diatur dalam undang-undang.
Namun bila dilihat dari maksud MK dalam memutus perkara ini adalah agar keseluruhan norma hukum dalam negara hukum Republik Indonesia benar-benar mencerminkan cita-cita hukum atau rechtsidee yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi di negara hukum Republik Indonesia, MK bermaksud untuk merapikan produk perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Dampak lainnya seperti mencegah para aparat penegak hukum berprilaku sewenang-wenang dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi maupun dalam penghukuman bagi terdakwa korupsi.[29]

3.2        PELAKSANAAN PUTUSAN MK No. 003/PUU-IV/2006

MK merupakan lembaga tinggi negara yang putusannya mengikat tetapi eksekusi putusan MK tidak dapat berjalan dengan semestinya  karena tidak ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK, hal ini terlihat dari putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang pada intinya adalah bahwa dalam tindak pidana korupsi orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada. Namun dalam pelaksanaanya putusan MK ini tidak dapat dilaksanakan seperti yang tercermin dalam putusan kasasi Romli Atmasasmita bernomor 591 K/Pid.Sus/2010 tanggal 21 Desember 2010 dalam kasus Sisminbakum.
Hakim Kasasi MA Muhammad Taufik mengatakan Romli lepas dari segala tuntutan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan ahli hukum pidana ini tidak mendapatkan keuntungan terkait kasus Sisminbakum dan pelayanan publik lewat Sisminbakum tetap berjalan serta negara tidak dirugikan.[30] Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan terhadap Prof. Romli Atmasasmita. Dalam hukum pidana, Putusan lepas dari segala tuntutan hukum berarti perbuatan pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan, tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana.[31] Walaupun Romli bersalah menurut Peraturan Perundang-undangan namun berdasarkan norma hukum tidak tertulis yaitu rasa keadilan masyarakat Romli dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini MA merujuk pada putusan MA, 8 Januari 1966 dalam kasus penyalahgunaan DO Gula oleh Machros Efendi di Kalimantan Barat yang menggunakan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang bersifat negatif.[32]
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang bersifat negatif,yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum.[33]
Sedangkan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.[34]
Contoh ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif adalah putusan Mahkamah Agung RI sewaktu masih berlakunya UU No. 3/1971 yaitu Putusan MA RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275 K/Pid/1983 dengan terdakwa R. sonson Natalegawa, direktur Bank Bumi Daya, yang di dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan:[35]
“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan Hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuia dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatuhan dalam masyarakat.
Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang merusak perasaan hati masyarakat.”

Kedua putusan di atas dapat dijadikan yurisprudensi hakim dalam memutus suatu perkara korupsi dimana hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang. Seperti yang diungkapkan oleh Bregstein “terhadap kata-kata undang-undang penerap undang-undang memiliki suatu kebebasan yang luas. Jadi dia bukanlah ‘mulut undang-undang’ tetapi ‘mulut jiwa undang-undang’”. Breigstein sesungguhnya hendak menekankan kepada para penerap hukum untuk menyelenggarakan keadilan. Bahwa undang-undang sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum, tetapi kepastian hukum tidak selalu memberikan keadilan, juga karena tidak selamanya hukum sesuai dengan tuntutan keadilan.[36]
Pendapat diatas sejalan dengan pendapat Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982) dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.[37]
Asas legalitas harus diartikan sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian undang-undang.[38] Menurut Suijling “tidak hanya undang-undang atau hukum kebiasaan saja, melainkan keduanya secara bersama-sama memberikan dasar hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan. Hakim mendasarkan putusan-putusannya atas keduanya. Hakim adalah “mulut” baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis”.  
Sehingga kendati sudah ada putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 namun dalam kenyataanya hakim dalam memutus perkara tidak harus hanya berdasar pada ketentuan perundang-undangan namun dapat juga menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Sehingga keadilan dapat ditegakkan dan kekhawatiran akan terhambatnya pemberantasan korupsi karena seseorang dikatakan telah melakukan tindakan pidana korupsi manakala dapat dibuktikan bahwa orang yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur melakukan perbuatan tindak pidana korupsi hanya seperti diatur dalam undang-undang dapat diatasi dengan keluarnya putusan kasasi Romli Atmasasmita bernomor 591 K/Pid.Sus/2010 tanggal 21 Desember 2010. Sehingga putusan ini dapat dijadikan dijadikan dasar hakim dalam memutus perkara berdasarkan hukum tidak tertulis.



BAB IV
PENUTUP

a.             KESIMPULAN

Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 telah memberikan dampak terhadap pemberantas korupsi di Indonesia yaitu dengan mencabut ketentuan penjelasan pasal 2 ayat (1) ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, sehingga di khawatirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tidak akan mampu dalam mengatisipasi modus koruptor yang semakin canggih. Sehingga pemerintah harus mempunyai political will dalam pemberantasan korupsi dengan memaksimalkan peraturan yang ada dan memlakukan tindakan preventif dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

b.            SARAN

Agar mahkamah konstitusi lebih cermat dalam membuat putusan sehingga tidak menimbulkan putusan yang membingungkan. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum agar menaati putusan MK ini kendati tidak ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK, demi terwujudnya tertib hukum di Indonesia.



[1] Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung: Grafitri, 2009, Hlm. 14.
[2] Ibid, Hlm. 120.
[3] Ibid. Hlm. 114
[4] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Meteriel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung : Alumni, 2002, Hlm 13.
[5] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, Hlm.509
[7] Ibid
[8] Jimly Asshidiqie, Op Cit, Hlm.589
[9] Ibid. Hlm. 592
[10] Ibid.
[11] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hlm. 8
[12] ibid
[13] Ibid.
[14] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, Hlm 1.
[15] Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Tujuh Tipe Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UURI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, Bandung: CV. Mandar Maju, 2010, Hlm. 19.
[16] Ibid. Hlm. 23.
[17] Ibid, Hlm. 24.
[18] Ibid, Hlm. 20.
[19] Ibid, Hlm 19.
[20] Ibid. Hlm. 57.
[21] Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
[22] Ibid
[23] Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung: Grafitri, 2009, Hlm. 122
[24] Ibid. Hlm 123.
[25] Ibid
[26] Ibid, Hlm. 124.
[27] alvi Syahrin, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/melawan-hukum.html diakses tanggal 26 Mei 2014.
[28] Ibid
[32] Ibid.
[33] Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Hlm. 28.
[34] Ibid.
[35] Wiyono, Ibid, Hlm 29.
[36] Komariah Emong, Op Cit, Hlm. 16
[37] Dikutip dari Ahmad Zaenal Fanani, Menomorsatukan Keadilan (artikel), www.badilag.net
[38] Komariah Emong, Op Cit, Hlm 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar