IMPLIKASI PUTUSAN MK
NOMOR 003/PUU-IV/2006 TERHADAP POLITIK KHUSUSNYA PEMBERANTASAN KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
MASALAH
Cita-cita
negara yang untuk melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
nampaknya hanya angan-angan belaka. Hal ini terjadi karena merajalelanya kasus
korupsi yang terjadi sejak repubik ini berdiri. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, ketika Indonesia dinyatakan oleh Presiden berada
dalam Keadaan Darurat Perang (Staat van Oorlog en Van Beleg) melalui Keputusan
Presiden No. 40 Tahun 1957 dalam rangka
mengatasi pemberontakan, Penguasa Militer yang berkuasa berniat pula untuk
memberantas korupsi yang merajalela dengan menerbitkan peraturan-peraturan:
1.
Prt/PM-06/1957 Tentang Pemberantasan
Korupsi, tanggal 9 April 1957;
2.
Prt/PM-08/1957 Tentang Penilikan
Terhadap Harta Benda, Tanggal 27 Mei 1957;
3.
Prt/PM-011/1957 Tentang Penyitaan dan
Perampasan Barang-Barang, tanggal 1 Juli 1957.[1]
Berbagai peraturan
telah diterbitkan untuk memberantas korupsi, sampai pada masa orde baru terbit
UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ternyata UU
ini tidak mampu untuk memberantas korupsi pada masa orde baru bahkan semakin
mernggurita. Pada era reformasi terbit UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harapan pemberantasan
korupsi di Bumi Nusantara kembali muncul. Ketentuan dalam UU ini bak alat
penangkap ikan dengan yang menggunakan kain blancu sehingga mampu menjaring
kuman-kuman terkecil sekalipun.[2]
Namun dalam
perjalanannya UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun
2001 dalam memberantas korupsi banyak
menghadapi tantangan mulai dari isu mengamandemen atau mengganti UU ini sampai
di yudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya adalah Ir. Dawud
Djatmiko menggugat UU No. 31/1999 ke Mahkamah Konstitusi. Ia ditahan sejak
tanggal 28 Juni 2005 dengan tuduhan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
serta Pasal 15 UU No. 31/1999 ketika melaksanakan proyek pembangunan jalan tol
Jakarta Outer Ring Road (JORR) ruas Taman Mini Indonesia Indah – Cikunir,
menurut penggugat, pasal-pasal yang dituduhkan kepadanya bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[3]
Pada
hari selasa tanggal 25 Juli 2006 Mahkamah Konstitusi mengelar sidang pembacaan
putusan perkara No. 003/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU.
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945
yang diajukan oleh Ir. Dawud Djatmiko yang menjadi pokok permohonan adalah apakah
Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3
(sepanjang menyangkut kata ”dapat”), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
”percobaan”) UU PTPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yaitu menyatakan bahwa
:
Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang
dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang
dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;”
Putusan
ini membawa implikasi terhadap politik khususnya politik hukum apakah putusan
MK ini dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak. Mengingat bahwa walaupun MK
merupakan lembaga tinggi negara yang putusannya mengikat tetapi pada
kenyataannya eksekusi putusan MK tidak dapat berjalan dengan semestinya karena tidak ada lembaga yang mengeksekusi
putusan MK. Tidak seperti vonis Pengadilan Negeri yang memvonis terdakwa dengan
penjara 5 (Lima) Tahun penjara maka kejaksaan negeri yang akan mengeksekusinya.
Terhadap
pemberantasan korupsi putusan ini juga mempunyai impilkasi yang cukup besar,
dengan putusan ini tindakan korupsi yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat dipidana. Mengingat semakin canggihnya teknik
yang dilakukan oleh para koruptor dalam mengerogoti uang negara dan hukum yang
selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat sehingga peluang untuk
menghukum koruptor dengan norma hukum yang tidak tertulis menjadi tertutup.
Seperti yang diungkapkan oleh Von Savigny “ “kodifikasi hukum selalu membawa
serta efek yang negatif, yakni menghambat perkembangan hukum, sejarah
berkembang terus, tetapi hukum sudah ditetapkan”.[4]
1.2.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dengan
demikian dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan
pembahasan dalam penulisan ini. Adapun beberapa pokok permasalahan tersebut
adalah
1.
Bagaimana implikasi putusan MK No.
003/PUU-IV/2006 terhadap politik Khusunya pemberantasan korupsi.
2.
Bagaimana pelaksanaan putusan
MK No. 003/PUU-IV/2006.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Menurut
R. Subekti dan R Tjitrosoedibio pengadilan (rechtsbank, court) adalah badan
yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dn memutusi sengketa-sengketa hukum
dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak,
judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakan
hukum dan keadilan. Dengan demikian, berarti pengadilan itu menunjuk kepada
pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya.[5]
Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
Mahkamah
Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:[6]
1.
Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Memutus Sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3.
Memutus pembubaran partai politik, dan
4.
Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga:[7]
1.
Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a. penghianatan
terhadap negara;
b. korupsi;
c. penyuapan;
d. tindak
pidana lainnya;
2.
atau perbuatan tercela, dan/atau
3.
tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pengujian undang-undang
menempatkan undang-undang sebagai objek peradilan, yang jika undang-undang itu
terbukti bertentangan dengan undang-undang dasar, maka sebagian materi ataupun
keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat
untuk umum.[8]
Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji
Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”
Maksud dari pengujian
undang-undang terhadap UUD adalah agar keseluruhan norma hukum dalam negara
hukum Republik Indonesia benar-benar mencerminkan cita-cita hukum atau rechtsidee yang terkandung dalam UUD
1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi di negara hukum Republik
Indonesia.[9]
Mahkamah Konstitusi
juga menciptakan suatu norma baru dengan dihapuskannya norma yang lama itu.
Karena itu Hans Kelsel menyebut fungsi demikian ini sebagai negative legislator yang sangat berbeda
dari parlemen yang menjalankan fungsi sebagai positive legislator.[10]
2.2.
PENGERTIAN POLITIK HUKUM
Menurut Miriam
Budiardjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik
(atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decisionmaking) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.[11]
Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan
dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation) dari
sumber-sumber atau resourses yang
ada.[12]
Untuk melaksnakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),
yang dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik
yang muncul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi
(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan
perumusan keinginan (statement of intent)
belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals). Dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagi pula politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan
orang seorang (individu).[13]
Menurut
Mahfud MD Politik Hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan
demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD
1945.[14]
2.3
PENGERTIAN KORUPSI
Lord Acton
mengungkapkan “power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung untuk korupsi
dan kekuasaan yang absolute cenderung korupsi absolute. Pendapat ini
mengingatkan bahwa di mana pun dibelahan bumi kekuasaan selalu sangat rentan
terhadap tindak pidana korupsi.[15]
Menurut Fockema Andreae
kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio
atau corruptus. Yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal
dari kata corrumpere, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itu
itulah turun ke banyak bahasa eropa seperti Inggris yaitu, corruption, corrupt;
Prancis, yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, patut diduga istilah
korupsi dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Belanda. Pengertian korupsi secara harfiah menurut John M. Echols
dan Hassan Shadily, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N. Kramer
ST. mengartikan korupsi sebagai; busuk, rusak, atau dapat disuap.[16]
Menurut Gurnar Myrdal
“korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan
dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu
untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti
penyogokan.[17]
Definisi korupsi dapat
dipandang dari berbagai aspek tergantung dari disiplin ilmu yang dipergunakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste korupsi didefinisikan 4 jenis:[18]
1.
Discretionary
Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah,
bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2.
Illegal
Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3.
Mercenary
Corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalagunaan wewenang
dan kekuasaan.
4.
Ideological
Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Piers Beirne dan James
Messerchmidt menjelaskan mengenai empat tipe perbuatan korupsi yang berkaitan
erat dengan kekuasaan, yaitu:[19]
1.
Political
Bribery adalah kekuasaan di bidang legislative sebagai
badan pembentuk undang-undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan
oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai
penyandang dana. Di mana individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap
agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum
dan kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan
perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka.
2.
Political
Kickbacks adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait
dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan
banyak uang bagi kedua belah pihak.
3.
Election
Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pelasanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh
calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum.
4.
Corrupt
Campaingn Practiced adalah korupsi yang berkaitan dengan
kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan
penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.
Menurut Dyatmiko
Soemodiharjo dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20
Tahun 2001 korupsi dirumuskan ke dalam
30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokan
sebagai berikut:[20]
1.
Korupsi yang terkait dengan keuangan
negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan
keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri
dan dapat merugikan keuangan negara.
2.
Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap,
yaitu menyap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena
jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang
berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan
advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima
suap.
3.
Korupsi yang terkait penggelapan dalam
jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang negara atau membiarkan
penggelapan; pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
pegawai negeri merusak bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak
bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.
4.
Korupsi yang terkait dengan perbuatan
pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri
lain.
5.
Korupsi yang terkait dengan perbuatan
curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan
curang; rekanan TNI/Polri berbuat curang; pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan
perbuatan curang; menerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang;
pegawai negeri menyerobot tanah negara.
6.
Korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan
yang diurusnya.
7.
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi,
yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan
Korupsi.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 IMPLIKASI
PUTUSAN MK NO. 003/PUU-IV/2006 TERHADAP POLITIK HUKUM KHUSUNYA PEMBERANTASAN
KORUPSI
Masalah pokok yang
harus dipertimbangkan oleh Mahkamah konstitusi dalam permohonan pengujian UU
No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Terhadap UUD 1945 adalah apakah Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2
ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata ”dapat”), dan
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata ”percobaan”) UU PTPK bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[21]
Putusan dari perkara
diatas adalah :
a. Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian.
b. Menyatakan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud
dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Menyatakan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan
’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pertimbangan hukum yang
dijadikan landasam MK dalam memutus perkara diatas adalah:[22]
a. Tentang
Kata “Dapat”
kata “dapat” dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut
di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat”
menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika
unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan
pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata
”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang
dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima
penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa
”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
MK berpendapat,
kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala
besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang
dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka
jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun
kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang
didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan
pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian
tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian
nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian
negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku,
sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau
suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti.
Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai
delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan
sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan
bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian
yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama
dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat
dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan
pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata
terjadi.
Menurut MK hal demikian
tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan
dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberadaan kata
”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian
hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau
sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi
pidana.
Bahwa dengan asas
kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata
“dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang
ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat
menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud
mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan
tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi
dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang
terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian
negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar
peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara
terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara,
perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang
dengan kerugian.
Dengan adanya
penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik
formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak
merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal
demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus
dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor
kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang
memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan
dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat
dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata
”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan
dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut
konstitusionalitas norma.
Dengan demikian
Mahkamah berpendapat bahwa frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum
yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran MK di atas (conditionally
constitutional).
Menimbang bahwa oleh
karena kata ”dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas,
tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu
tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan.
b. Tentang
Unsur Melawan Hukum (wederrechtelijkheid)
Selanjutnya yang perlu
mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh
Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak
memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat
(1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum”, dalam hukum pidana,
tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti
materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian
pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum’ dalam
pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Dengan bunyi penjelasan
yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat
onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu
norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela
menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah
melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan
orang-perorang dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah
memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan
dalam
hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan
(rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku
di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut
merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil.
Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan
Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran
yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan
perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan
kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam
hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu
ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu,
apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui
dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan
mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan
hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Berkaitan dengan
pertimbangan di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula
menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan
perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam
pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama
sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah
pula dikuatkan dalam Butir E Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan antara lain menentukan:
·
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran
resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang
tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
·
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut;
·
Dalam penjelasan dihindari rumusan yang
isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang
bersangkutan;
Menimbang bahwa dengan
demikian Mahkamah menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam
kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sehingga Mahkamah perlu
mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
·
Pasal 28D ayat (1) mengakui dan
melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana
diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP,
bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang
hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan
yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
·
Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak
pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu
telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan
manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut
dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta;
·
Konsep melawan hukum yang secara formil
tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk
merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana,
2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang
dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;
Berdasarkan uraian di
atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk
pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan
yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan
ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat
tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di
satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah
dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat
setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam
persidangan.
Oleh karenanya
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal
yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil
yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara
melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”,
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
c. Tentang
Percobaan
Pasal 15 UU PTPK yang
juga dimohon untuk diuji berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan percobaan,
perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,
dipidana dengan pidana yang sama, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Ketentuan tersebut oleh Pemohon didalilkan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagai akibat rumusan
yang demikian percobaan untuk melakukan perbuatan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK ancaman pidananya
disamakan dengan delik yang telah selesai (voltoid delict).
Hal tersebut menurut MK
tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan, karena hal ini
merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan oleh sistem
hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi,
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.
Rumusan Pasal 15 UU PTPK, yang merupakan pencerminan legal policy pembentuk
undang-undang, dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di
Indonesia telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan
cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.
Mengkualifikasikan
percobaan sebagai delik yang sudah selesai (voltoid delict) merupakan
pengecualian yang dibenarkan menurut Pasal 103 KUHP sehingga ketentuan Pasal 15
UU PTPK tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum
yang adil, sebagaimana dimaksudkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Prof. Krisna
Harahap putusan Mahkamah Konstitusi itu upaya pemberantasan korupsi akan
semakin berat mengingat masalah masalah pembuktian yang selama ini sudah
dirasakan sulit akan semakin berat dikemudian hari karena seseorang dikatakan
telah melakukan tindakan pidana korupsi manakala dapat dibuktikan bahwa orang
yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur melakukan perbuatan tindak pidana
korupsi hanya seperti diatur dalam undang-undang.[23]
Sejalan dengan putusan
MK itu, tugas para hakim menjadi semakin berat dalam menemukan kebenaran
materiel. Oleh karena itu, keyakinan seorang hakim dan prinsip bahwa hakim
bukan corong undang-undang dan hakim berwenang menciptakan hukum, menjadi
semakin penting.[24]
Lebih lanjut Prof.
Krisna menyatakan bahwa muncul banyak pertanyaan mengapa Mahkamah Konstitusi
memutuskan hal yang tidak diminta oleh pemohon. Karena di dalam permohonannya,
pemohon sebenarnya hanya mempersoalkan frasa “dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara” yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3
UU No. 31/1999.[25]
Hal lain yang
menunjukan ketidakcermatan Mahkamah Konstitusi muncul takala putusan MK
tersebut mengutip seutuhnya penjelasan Pasal 2 ayat (1) sehingga dengan
terkutipnya frasa “pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
dan dalam arti materiil…” bukan hanya perbuatan melawan hukum dalam ari
materiil saja yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga perbuatan melawan hukum dalam arti
formil. Apabila kehendak Mahkamah
Konstitusi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dan
formil maka tamatlah riwayat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.[26]
Jauh sebelum Putusan MK
pada Tahun 2006 kata “melawan hukum” secara luas itu sesuai dengan pengertian
perkataan “onrechtmatig” dalam Pasal 1365 B.W. Dalam hal ini Profesor POMPE
menunjuk pada arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 N.J.1919 halaman 161, W.
10365 yang menyangkut Pasal 1365 B.W. di mana Hoge Raad telah memasukkan juga
ke dalam pengertian “onrechtmatig” yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan hukum yang tidak tertulis, berupa perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan kepatutan.[27]
Menurut keputusan Hoge
Raad tersebut yang dimaksud dengan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
asas-asas hukum (onrechtmatig daad) ialah membuat sesuatu atau tidak membuat
sesuatu (melalaikan sesuatu) yang:[28]
·
melanggar hak subjectif orang lain;
·
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban
(rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu;
·
bertentangan dengan kesusilaan dan
asas-asas pergaulam kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau
barang orang lain.
Sehingga putusan MK
tersebut juga telah menganulir arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 yang
telah berlaku kurang lebih 87 tahun di mana Hoge Raad telah memasukkan juga ke
dalam pengertian “onrechtmatig” yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan hukum yang tidak tertulis atau perbuatan hukum dalam arti materiil.
Secara politik putusan
MK tersebut telah membuat putusan yang bertantangan dengan semangat awal
pemberantasan korupsi, dimana tindak pidana korupsi yang merupakan tindak
pidana luar biasa ditangani dengan peraturan yang biasa seperti kejahatan
lainnya. Padahal maksud dari dimasukannya rumusan ”Yang dimaksud dengan ’secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
adalah untuk mengantisipasi tidak pidana korupsi yang semakin canggih sehingga
perbuatan tersebut belum diatur dalam undang-undang.
Namun bila dilihat dari
maksud MK dalam memutus perkara ini adalah agar keseluruhan norma hukum dalam
negara hukum Republik Indonesia benar-benar mencerminkan cita-cita hukum atau
rechtsidee yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi
di negara hukum Republik Indonesia, MK bermaksud untuk merapikan produk
perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Dampak lainnya seperti
mencegah para aparat penegak hukum berprilaku sewenang-wenang dalam menetapkan
seseorang sebagai tersangka korupsi maupun dalam penghukuman bagi terdakwa
korupsi.[29]
3.2
PELAKSANAAN PUTUSAN MK
No. 003/PUU-IV/2006
MK merupakan lembaga
tinggi negara yang putusannya mengikat tetapi eksekusi putusan MK tidak dapat
berjalan dengan semestinya karena tidak
ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK, hal ini terlihat dari putusan MK No.
003/PUU-IV/2006 yang pada intinya adalah bahwa dalam tindak pidana korupsi
orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan
perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada.
Namun dalam pelaksanaanya putusan MK ini tidak dapat dilaksanakan seperti yang
tercermin dalam putusan kasasi Romli Atmasasmita bernomor 591 K/Pid.Sus/2010
tanggal 21 Desember 2010 dalam kasus Sisminbakum.
Hakim Kasasi MA
Muhammad Taufik mengatakan Romli lepas dari segala tuntutan tindak pidana
korupsi dengan pertimbangan ahli hukum pidana ini tidak mendapatkan keuntungan
terkait kasus Sisminbakum dan pelayanan publik lewat Sisminbakum tetap berjalan
serta negara tidak dirugikan.[30]
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan terhadap Prof. Romli
Atmasasmita. Dalam hukum pidana, Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
berarti perbuatan pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan, tetapi perbuatan
tersebut bukanlah perbuatan pidana.[31]
Walaupun Romli bersalah menurut Peraturan Perundang-undangan namun berdasarkan
norma hukum tidak tertulis yaitu rasa keadilan masyarakat Romli dinyatakan
lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini MA merujuk pada putusan MA, 8
Januari 1966 dalam kasus penyalahgunaan DO Gula oleh Machros Efendi di
Kalimantan Barat yang menggunakan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya
yang bersifat negatif.[32]
Ajaran sifat melawan
hukum dalam fungsinya yang bersifat negatif,yaitu suatu perbuatan, meskipun
menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan
hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak
bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat
melawan hukum.[33]
Sedangkan ajaran
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan,
meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan
hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum.[34]
Contoh ajaran melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang positif adalah putusan Mahkamah Agung RI
sewaktu masih berlakunya UU No. 3/1971 yaitu Putusan MA RI tanggal 29 Desember
1983 Nomor 275 K/Pid/1983 dengan terdakwa R. sonson Natalegawa, direktur Bank
Bumi Daya, yang di dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan:[35]
“Menimbang bahwa
menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat,
jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut
Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan Hukum yang ada sanksi pidananya,
akan tetapi sesuia dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya
hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun maupun asas-asas
yang bersifat umum menurut kepatuhan dalam masyarakat.
Menimbang bahwa
menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi,
apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta
keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu
menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya serta
menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut
kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang
merusak perasaan hati masyarakat.”
Kedua putusan di atas
dapat dijadikan yurisprudensi hakim dalam memutus suatu perkara korupsi dimana
hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang. Seperti yang diungkapkan oleh
Bregstein “terhadap kata-kata undang-undang penerap undang-undang memiliki
suatu kebebasan yang luas. Jadi dia bukanlah ‘mulut undang-undang’ tetapi
‘mulut jiwa undang-undang’”. Breigstein sesungguhnya hendak menekankan kepada
para penerap hukum untuk menyelenggarakan keadilan. Bahwa undang-undang sangat
perlu untuk memberikan kepastian hukum, tetapi kepastian hukum tidak selalu
memberikan keadilan, juga karena tidak selamanya hukum sesuai dengan tuntutan
keadilan.[36]
Pendapat diatas sejalan
dengan pendapat Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982) dari tiga tujuan hukum
(yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi
yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis,
pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang
paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa
dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi
praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II
–dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang
pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan
menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian
bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini
sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk
menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan
dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat
yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.[37]
Asas legalitas harus
diartikan sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian
undang-undang.[38]
Menurut Suijling “tidak hanya undang-undang atau hukum kebiasaan saja,
melainkan keduanya secara bersama-sama memberikan dasar hukum yang diperlukan
secara mutlak pada pergaulan. Hakim mendasarkan putusan-putusannya atas
keduanya. Hakim adalah “mulut” baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis”.
Sehingga kendati sudah
ada putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 namun dalam kenyataanya hakim dalam memutus
perkara tidak harus hanya berdasar pada ketentuan perundang-undangan namun
dapat juga menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Sehingga keadilan dapat
ditegakkan dan kekhawatiran akan terhambatnya pemberantasan korupsi karena seseorang
dikatakan telah melakukan tindakan pidana korupsi manakala dapat dibuktikan
bahwa orang yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur melakukan perbuatan
tindak pidana korupsi hanya seperti diatur dalam undang-undang dapat diatasi
dengan keluarnya putusan kasasi Romli Atmasasmita bernomor 591 K/Pid.Sus/2010
tanggal 21 Desember 2010. Sehingga putusan ini dapat dijadikan dijadikan dasar
hakim dalam memutus perkara berdasarkan hukum tidak tertulis.
BAB
IV
PENUTUP
a.
KESIMPULAN
Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 telah
memberikan dampak terhadap pemberantas korupsi di Indonesia yaitu dengan
mencabut ketentuan penjelasan pasal 2 ayat (1) ”Yang dimaksud dengan ’secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”,
sehingga di khawatirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi tidak akan mampu dalam mengatisipasi modus koruptor yang
semakin canggih. Sehingga pemerintah harus mempunyai political will dalam
pemberantasan korupsi dengan memaksimalkan peraturan yang ada dan memlakukan
tindakan preventif dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
b.
SARAN
Agar mahkamah konstitusi lebih cermat
dalam membuat putusan sehingga tidak menimbulkan putusan yang membingungkan.
Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum agar menaati putusan
MK ini kendati tidak ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK, demi terwujudnya
tertib hukum di Indonesia.
[1]
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung:
Grafitri, 2009, Hlm. 14.
[2]
Ibid, Hlm. 120.
[3]
Ibid. Hlm. 114
[4]
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Meteriel Dalam Hukum
Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi. Bandung : Alumni, 2002, Hlm 13.
[5]
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2007, Hlm.509
[6] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3
Diakses 28 Mei 2013
[7]
Ibid
[8] Jimly
Asshidiqie, Op Cit, Hlm.589
[9]
Ibid. Hlm. 592
[10]
Ibid.
[11]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005, Hlm. 8
[12]
ibid
[13]
Ibid.
[14]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2012, Hlm 1.
[15]
Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Tujuh Tipe Tindak
Pidana Korupsi Berdasarkan UURI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001,
Bandung: CV. Mandar Maju, 2010, Hlm. 19.
[16]
Ibid. Hlm. 23.
[17]
Ibid, Hlm. 24.
[18]
Ibid, Hlm. 20.
[19]
Ibid, Hlm 19.
[20]
Ibid. Hlm. 57.
[21] Putusan
MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
[22]
Ibid
[23] Krisna
Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung:
Grafitri, 2009, Hlm. 122
[24]
Ibid. Hlm 123.
[25]
Ibid
[26]
Ibid, Hlm. 124.
[27]
alvi Syahrin, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/melawan-hukum.html
diakses tanggal 26 Mei 2014.
[28]
Ibid
[32]
Ibid.
[33]
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Sinar Grafika, 2005. Hlm. 28.
[34]
Ibid.
[35] Wiyono,
Ibid, Hlm 29.
[36]
Komariah Emong, Op Cit, Hlm. 16
[37]
Dikutip dari Ahmad Zaenal Fanani, Menomorsatukan Keadilan (artikel), www.badilag.net
[38]
Komariah Emong, Op Cit, Hlm 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar