WUJUD HUKUM NASIONAL INDONESIA PASCA AMANDEMEN UNDANG
UNDANG DASAR 1945
(setelah tidak adanya GBHN)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Jauh sebelum Indonesia
merdeka bahkan sebelum penjajah datang ke bumi Nusantara kerajaan-kerajaan
zaman dahulu telah mengenal tradisi hukumnya masing-masing. Seperti di zaman
Majapahit, pernah ditulis satu kumpulan aturan tertentu yang oleh Mohammad
Yamin disebut sebagai Undang-Undang Majapahit. Negara-negara seperti Gowa dulu
tercatat pula sebagai negara yang kemudian hari dikenal sebagai negara federal
atau konfederasi dengan catatan-catatan hukum ketatanegaraan yang ditulis
diatas lontara.[1]Masih
banyak negara-kerajaan yang ada di Nusantara yang mempunyai corak hukumnya yang
khas, tentunya hukum tersebut tidak harus selalu dalam bentuk tertulis.
Pada masa Kolonial
Belanda peraturan dasar tentang pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan
daerah jajahan di Indonesia dan berbentuk undang-undang (wet) pada waktu itu dinamakan Regerings
Reglement (RR). RR ini diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1854, tetapi
mulai berlaku tahun 1855 melalui S.1855:2 kalau dilihat dari isinya yang
terdiri dari 130 pasal, delapan bab dan mengatur tentang tata pemerintahan di
Hindia Belanda, RR itu dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Pemerintah Jajahan
Belanda.[2]
Seiring dengan perubahan Grondwet Belanda
pada tahun 1922 maka berdampak pula kepada Hindia Belanda sebagai daerah
jajahannya sehingga RR sebagai Undang-Undang Dasar diubah dan diganti menjadi Indische
Staatregeling (IS). IS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui S.
1925:412.[3]
Sejak proklamasi
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang dapat dikatakan bahwa
Republik Indonesia telah memiliki beberapa naskah undang-undang dasar sebagai
dokumen hukum tertinggi dalam menyelenggaraan kegiatan bernegara. Naskah
undang-undang dasar yang pernah berlaku secara resmi adalah:
1.
Undang-Undang Dasar 1945
2.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat 1949
3.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
4.
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah mengalami perubahan.
Walaupun 1945 sampai
dengan 1949 undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia adalah UUD 1945,
tetapi dalam praktik “tidak diberlakukan” dalam praktik melalui Maklumat No. X
Tahun 1945 yang ditadatangani oleh wakil presiden pada tanggal 16 oktober 1945.
Jadi sejak 16 Oktober 1945 melalui Maklumat No. X ketentuan UUD 1945, terutama
yang menyangkut sistem pemerintahan ditinggalkan. Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal
16 Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas-tugas legisltif. Dengan demikian
KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan
lembaga kepresidenan. Kemudian KNIP yang dipimpin Syahrir ini lebih berhasil
lagi dalam mendorong Pemerintah – Wk. Presiden Hatta -- untuk mengeluarkan
Maklumat Pemerintah tentang pendirian partai-partai politik (3Nopember 1945)
dan pemberlakuan Kabinet Parlementer (14 Nopember 1945).[4]
Sebagai implikasi dari
Konferensi Meja Bundar yang mendirikan negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
maka undang-undang dasar yang digunakan adalah UUD RIS 1949 yang hanya berlaku
dari 27 Desember 1949 sampai 27 Agustus 1950. Karena bentuk negara serikat
tidak berlangsung lama dan bentuk negara kembali kepada negara kesatuan maka
diberlakukan UUD Sementara 1950 yang berlaku dari 27 Agustus sampai dengan 5
Juli 1959. Karena Konstituante telah gagal dalam membentuk undang-undang dasar baru
sebagai pengganti UUDS 1950, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka undang-undang
dasar yang berlaku kembali kepada UUD 1945.
Pasca jatuhnya
kekuasaan Presiden Soeharto tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945 mulai mencuat
karena dinilai ketentuan didalamnya memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada presiden sehingga dalam pelaksanaan UUD 1945 sebelum amandemen (5 Juli
1959-19 Oktober 1999) melahirkan rezim otoriter baik orde lama maupun orde
baru. Masa peralihan dari UUD 1945 menjadi UUD 1945 Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasca amandemen berlangsung dari 19 Oktober 1999 sampai 10 Agustus
2002. Amandemen Pertama disahkan pada 19 Oktober 1999, Amandemen Kedua disahkan
pada 18 Agustus 2000, Amandemen Ketiga disahkan pada 9 November 2001, dan Amandemen
Keempat disahkan pada 10 Agustus 2002.[5]
Dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa “Negara Indonesia
berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machsstaat).Setelah amandemen ketentuan ini dimasukan kedalam Pasal 1 Ayat 3
UUD Negara Republik Indonesia yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara
hukum”.
Baik dalam UUD 1945
sebelum dan sesudah amandemen konsep negara hukum telah tertulis dalam
konstitusi negara kita. Pada masa UUD
1945 sebelum amandemen, pembangunan hukum nasional dipandukan oleh Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasca amandemen GBHN dihapuskan sehingga panduan dalam pembangunan
khususnya pembangunan hukum nasional sempat kehilangan arah. Pada tahun 2004
melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20
tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Baru pada 2007 lahirlah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025 sebagai panduan pembangunan di era reformasi. Dalam UU No. 17/2007
disebutkan visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah Indonesia Yang
Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur dengan misi:
1.
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika,berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila
2.
Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing
3.
Mewujudkan masyarakat demokratis
berlandaskan hukum
4.
Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu
5.
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan
6.
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari
7.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju,kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional
8.
Mewujudkan Indonesia berperan penting
dalam pergaulan dunia internasional
Untuk mewujudkan visi
dan melaksanakan misi Indonesia 2005-2025 hukum mempunyai peranan penting dalam
memandu jalannya pembangunan. Namun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
tahun 2005-2025 walaupun telah mengatur perencanaan pembangunan hukum nasional
nampaknya tidak berjalan sesuai harapan, wujud hukum nasional nampak tidak
jelas, bahkan pamor UU No. 17 Tahun 2007 ini kalah dengan pamor Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Selain karena posisi GBHN yang ditetapkan dengan
Ketetapan MPR yang hierarkinya lebih tinggi dari Undang-Undang, UU No. 17 Tahun
2007 dianggap tidak mampu memandu pembangunan hukum nasional sehingga tidak
mengherankan ada sebagian pihak yang menginginkan kembali ke pola GBHN.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Dengan demikian dapat
ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan pembahasan dalam
penulisan ini. Adapun beberapa pokok permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana Wujud Hukum Nasional pada masa
berlakunya UUD 1945 sebelum amandemen?
2.
Bagaimana Wujud Hukum Nasional pada masa
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
WUJUD
HUKUM NASIONAL PADA MASA BERLAKUNYA UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN
Pembangunan hukum
selama masa Orde Baru menjadi alat penopang dan pengaman pembangunan nasional
yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi
semata. Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan
tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sebagai sarana untuk
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan sebagai sarana untuk memfasilitasi
proses rekayasa sosial. Konsep pembangunan model ini tercantum dalam setiap
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), terakhir pada tahun 1998.[6]
Kerangka pemikiran
pembangunan hukum tersebut secara nyata telah mengabaikan cita-cita dan tujuan
didirikannya Negara Republik Indonesia. Dalam konstitusi UUD 1945 telah
dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar
atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat),
sehingga hukum berikut seluruh pranata pendukungnya adalah dasar dan kerangka
bagi proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan semata-mata
sebagai alat dari kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula
alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Gagasan negara berdasar
atas hukum muncul dari para pendiri negara ini dengan dilandasi oleh
prinsip-prinsp demokrasi dan keadilan sosial, artinya hukum dan segala wujud
nilai-nilai yang kemudian diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan
tidak boleh menyimpang, baik secara nyata-nyata maupun tersamar, dari prinsip-prinsip
demokrasi dan keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru
seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan
keadilan sosial.
Dalam rentang waktu
panjang kesejarahan bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh
para pendiri republik ini seringkali tidak berdaya untuk membantah dan menahan
arus kepentingan sekelompok orang yang pada gilirannya justru mengorbankan
hak-hak rakyat banyak, yang pada hakekatnya juga mengorbankan misi suci dari hukum
itu sendiri. Hukum dalam banyak hal, sebagaimana telah dinyatakan di atas,
malah acap kali bermetamorfosis menjadi "lembaga pengesah"
kesewenang-wenangan dan "lembaga penghukum" pencari keadilan. Khusus
di masa Orde Baru, secara nyata-nyata hukum menjadi alat stabilitas politik,
alat penumpuk kekayaan, dan alat pelumas putaran roda pertumbuhan ekonomi. Implikasi
dari pengkerdilan hukum tersebut adalah porak porandanya sistem hukum, baik
dari segi kelembagaan hukum, substansi materi hukum, maupun budaya hukum.[7]
Dalam sejarah panjang
masyarakat Indonesia, struktur kelembagaan hukum secara terus menerus berusaha
mencari formatnya yang paling tepat. Sejak Republik Indonesia diproklamirkan
dan segera setelah itu diikuti dengan diletakannya dasar negara RI, struktur
kelembagaan hukum mendapatkan posisi yang "aman" dan
"nyaman". Walaupun tidak diatur secara rinci dan jelas, kekuasaan
kehakiman dalam konstitusi dilepaskan dari pengaruh kekuasaan lain dalam
penyelenggaraan fungsinya, dan berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi
lainnya dalam struktur ketatanegaraan.
Namun keberpihakan
konstitusional kepada struktur kelembagaan hukum ternyata terus mendapat
tantangan dari tolak-tarik sistem politik yang berkembang kemudian. Selama masa
demokrasi liberal struktur kelembagaan hukum memang dapat dikatakan relatif
mandiri dan profesional, walaupun dalam pelaksanaannya tidak dapat dikatakan
sama sekali tidak ada kekurangan, khususnya dalam hal kualitas dan kuantitas
aparatur penyelenggara kekuasaan kehakiman. Tapi, ketika sistem politik yang
liberal digantikan secara radikal oleh sistem politik demokrasi terpimpin,
kemandirian kekuasaan kehakiman memperoleh ancamannya yang terbesar.Sistem
politik yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno pada masa itu, secara kuat mencerminkan
wataknya yang otoriter dan tidak berpihak pada kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Hukum dan seluruh pranata pendukungya termasuk aparatur penegak hukum, dijerat
ke dalam jaring-jaring ideologi revolusi yang memaksa struktur kelembagaan
hukum untuk berpihak pada kemauan lembaga kepresidenan, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman bahwa: " Demi kehormatan revolusi, negara, dan bangsa atau
kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur
tangan dalam soal-soal Pengadilan”.[8]
Gambaran kisah muram
tersebut berusaha dihilangkan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan
terhadap terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka pada masa runtuhnya rejim
Orde Lama dan bangkitnya rejim Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an. Namun
upaya tersebut ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal. Hanya beberapa
tahun saja sejak berkuasanya Orde Baru, posisi struktur kelembagaan hukum
kembali ditempatkan di bawah kekuasaan lembaga kepresidenan. Walaupun secara
konseptual hanya sektor administrasi dan keuangan saja yang berlaku demikian,
namun pada kenyataannya seluruh proses penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
berada dalam posisi yang amat rentan terhadap intervensi kekuasaan lain,
khususnya kekuasaan lembaga kepresidenan dan birokrasi.
Penciptaan kerangka
sistem hukum yang adil dan sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat
Indonesia, sangat membutuhkan materi hukum yang responsif dan emansipatif
terhadap dinamika perkembangan masyarakat Indonesia sendiri.
Berkaitan dengan
substansi materi hukum Indonesia saat ini, beberapa pengamat hukum menganggap
bahwa substansi materi hukum Indonesia selama ini, khususnya yang diproduksi
selama masa Orde Baru masih diwarnai secara kuat oleh karakter produk hukum
yang represif, tidak responsif terhadap dinamika masyarakat, dan lebih
menekankan pada nuansa mengatur dari pada memenuhi kebutuhan masyarakat,
sehingga pada gilirannya berada jauh dari nilai-nilai keadilan yang ada di dalam
masyarakat Indonesia. Beberapa bidang kehidupan masyarakat masih menggunakan
materi hukum yang berasal dari jaman kolonial yang tentunya memiliki sifat yang
kolonialistis seperti diskriminatif, eksploitatif, mengekang hak-hak asasi
manusia, serta menempatkan individu di bawah cengkraman pengaturan negara. Khusus
untuk masyarakat adat yang pranata hukumnya masih hidup dan berkembang,
substansi hukum yang diciptakan, utamanya selama masa Orde Baru, masih banyak
yang mengenyampingkan bahkan meminggirkan keberadaan hukum adat beserta hak-hak
yang menyertainya.
Akar permasalahan dari
keadaan tersebut adalah terdapatnya perbedaan kepentingan antara negara yang
diwakili oleh pemerintah Orde Baru pada masa itu dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat yang berada di tingkat lokal. Salah satu faktor
penyebab yang merupakan turunan dari akar permasalahan tersebut adalah
dibentuknya mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang menutup
pelibatan aktif masyarakat secara luas. Mekanisme pembentukan materi hukum
selama ini sangat bersifat sentralistis, di mana peranan utama dipegang oleh
aparat birokrasi dari jajaran eksekutif, sedangkan posisi masyarakat adalah
sebagai warga yang harus menerima dan harus taat pada aturan yang telah disusun
sebelumnya oleh pemerintah.
Apabila permasalahan
mengenai materi hukum kemudian dikaitkan dengan tata pengaturan materi hukum
dalam sistem perundang-undangan, maka semakin jelas terlihat bahwa materi hukum
Indonesia selama ini masih belum disertai oleh sistem dan tata pengaturan yang
baik dan teratur. Materi hukum masih kental bernuansa sektoral karena tuntutan
efisiensi, sehingga pada gilirannya tercipta ketidaksinkronan baik vertikal
maupun horisontal antara materi-materi hukum yang lintas sektoral dan pada
akhirnya sering kali terjadi tumpang tindih dan bahkan pertentangan antara
materi hukum yang satu dengan yang lainnya.
Dinamika tiga GBHN pertama
era kepemimpinan presiden Suharto (1973, 1978, dan 1983), arah kebijakan hukum
tidak mengarah pada pembentukan sistem hukum, tetapi bidang hukum hanya
difungsikan sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, dan
3 (tiga) GBHN terakhir pada era tersebut (1988,1993, dan 1998), rumusan arah
kebijakan pembangunan hukum baru nampak mengarah pada pembentukan sebuah
sistem, yang nampak makin lengkap atau berkembang pada GBHN transisi (GBHN
1999).[9]
Kelebihan dari adanya
GBHN pada masa sebelum amandemen UUD 1945 adalah kebijakan pembangunan hukum
nasional tidak hanya bertumpu pada kebijakan presiden belaka. Pembangunan hukum
yang dirumuskan dalam GBHN harus ditaati oleh presiden karena posisi presiden
sebagai mandataris MPR. Presiden sebagai mandataris MPR harus
mempertanggungjawabkan apa saja bidang pembangunan hukum yang sudah
dilaksanakan kepada MPR.[10]
B.
Wujud
Hukum Nasional Pada Masa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasca
Amandemen
Berakhirnya Rezim Orde
Baru pada 21 Mei 1998 ditandai hasrat rakyat yang kuat untuk melakukan
perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keinginan tersebut
didasari kenyataan, diantaranya:[11]
1.
UUD 1945 sudah tidak bisa dijadikan
sebagai alat pembatasan wewenang penguasa. Kenyataan menunjukkan bahwa
pembagian kekuasaan sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Intervensi
pemerintah (eksekutif) sudah merambah jauh mencampuri wewenang suprastrukur
politik dan infrastrukur politik.
2.
Para penyusun konstitusi membatasi diri
pada “aturan-aturan pokok saja seperti diterangkan dalam penjelasan UUD 1945
yang berisi: “maka telah cukup jika undang-undang dasar hanya mengatur garis
garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat… sedang aturan-aturan
yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang
lebih mudah cara membuat, merubah, dan mencabut”. Ir Soekarno sebagai ketua Panitia
Penyusun UUD 1945 dalam rapat PPKI pada 18 Agustus 1945 menyatakan :”… bahwa
ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat,
Bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi
dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
antara lain, sebagai berikut:[12]
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada institusi-institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy,) yakni kekuasaan dominan berada di tangan presiden. Pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief executive) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Hal itu tertulis jelas dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkali-kali dan tafsir kedua adalah bahwa presiden dan wakil presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan penjelasan dan memberikan arti apakah yang dimaksud dengan orang Indonesia asli. Akibatnya rumusan itu membuka tafsiran beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Hal itu menyebabkan pengaturan mengenai MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), HAM, dan pemerintah daerah disusun oleh kekuasaan Presiden dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang ke DPR.
- Rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain, sebagai berikut:
a. Tidak
adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances)
antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
b. Infrastruktur
politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat,
kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
c. Pemilihan
umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal
karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan
sosial berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli,
dan monopsoni.
Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk:[13]
1.
menyempurnakan aturan dasar mengenai
tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memperkokoh Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila;
2.
menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat
agar sesuai dengan perkembangan pa-ham demokrasi;
3.
menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan
paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan
syarat bagi suatu negara hukum dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar checks and balances Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
4.
menyempurnakan aturan dasar
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui
pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga
negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan
tantangan zaman;
5.
menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial,
mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara sejahtera;
6.
melengkapi aturan dasar yang sangat
penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan
negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan
umum;
7.
menyempurnakan aturan dasar mengenai
kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi,
kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus
mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
Amandemen UUD 1945
menurut Center for Strategy and
International Studies(CSIS) perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
tidak lagi dapat disebut sebagai amandemen (mengubah pasal-pasal tertentu tanpa
mengubah teks asli, tetapi sekedar memberi tambahan terhadap pasal-pasal yang
ada), melainkan sudah merupakan penggantian (alternation). Penggantian yang dilakukan oleh MPR itu, didukung kenyataan bahwa 31 pasal dari 37
pasal (83,79%) telah diganti. Itu berarti hanya 6 pasal (16,21%) UUD 1945 lama
yang tidak dubah. Pasal tambahan mencapai 36 pasal atau 97,30%.[14]
Amandemen UUD 1945
mengubah hubungan antar lembaga dari yang vertikal struktural menjadi
horizontal-fungsional sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR
yang semula sebagai lembaga tertinggi negara diturunkan derajatnya menjadi
lembaga negara biasa yang sejajar dengan lembaga negara lainnya DPD,DPR,
Presiden, BPK, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan KY.
Dalam UUD 1945 sebelum
amandemen Pasal 3 berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Sedangkan
setelah perubahan Pasal 3 UUD 1945 menjadi:
(1).
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkanUndang-Undang Dasar.
(2).
Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3).
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-UndangDasar.
Dari hasil amandemen
UUD 1945 tersebut menempatkan MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya
dan menghapuskan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tentunya merubah wajah
hukum Indonesia di era reformasi.
Dengan posisi MPR yang
tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan perundang-undangan
di dalam tata hukum Indonesia tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan
(regeling). Tap MPR yang tadinya merupakan peraturan perundang-undangan dan
tempatnya pada derajat kedua di dalam hierarki peraturan perundang-undangan
digantikan oleh undang-undang yang semula menempati derajat ketiga. Pada saat
ini memang masih dimungkinkan adanya Tap MPR, tetapi bukan lagi sebagai
peraturan (regeling) melainkan
sebagai penetapan (beschikking),
seperti ketetapan tentang Penetapan Wakil Presiden Menjadi Presiden jika
presiden berhalangan tetap.[15]
Nasib Tap-Tap MPR/MPRS
yang sudah terlanjur ada (yang jumlahnya mencapai 139 Tap) pada tahun 2003,
sesuai dengan perintah pasal 1 aturan tambahan UUD 1945 hasil amandemen, MPR
mengeluarkan Tap No. 1/MPR/2003 yang memberi posisi baru terhadap semua Tap MPR/MPRS
yang sudah ada. Tap No. 1/MPR/2003 ini merupakan Tap MPR terakhir yang menutup
semua Tap MPR yang bersifat mengatur dalam arti tidak boleh ada lagi setelah
itu Tap MPR yang bersifat mengatur.[16]
Tidak hanya Tap MPR
yang dihapus dari hierarki perundang-undangan juga terjadi pula perubahan
berbagai Undang-Undang sebagai akibat dari reformasi dan perubahan UUD 1945. Begitu
rezim orde baru jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah, terutama
hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan yakni hukum tata
negara. Berbagai undang-undang bidang politik produk orde baru langsung diubah
dengan pembongkaran atas asumsi-asumsi serta penghilangan atas
kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya.
Beberapa perubahan
undang-undang diantanya adalah UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya
diganti dengan UU Kepartaian. Jika semula rakyat dipaksa untuk hanya menerima
dan memilih 3 organisasi sosial politik, kini rakyat diperbolehkan membentuk
partai politik. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD dirombak
sejalan dengan perubahan UUD 1945 dan UU Pemilu, UU tentang Pemerintahan Daerah
diganti, dari semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab ditambah
dengan asas otonomi luas, dari yang secara politik sentralistik menjadi desentralistik.
UU kehakiman yang menjadikan kekuasaan kehakiman disatu atapkan, dan masih
banyak undang-undang lain yang diubah bahkan dicabut seperti Penpes No. 11
Tahun 1963 yang kemudian dijadikan UU No. 11/PNPS/1963 (tentang tindak pidana
subversi).[17]
Perencanaan
Pembangunan Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU
Nomor 17 Tahun 2007)
Dalam hal perencanaan
pembangunan nasional setelah tidak ada GBHN perencanaan pembangunan nasional
diatur dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang ditindak lanjuti
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Terbitnya kedua Undang-Undang ini dilatarbelakangi
oleh beberapa hal diantaranya:
1.
pada kurun waktu 1969–1997 bangsa
Indonesia berhasil menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis
melalui tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan
negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tahapan
pembangunan yang disusun dalam masa itu telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu
proses pembangunan berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat,
seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Proses
pembangunan pada kurun waktu tersebut sangat berorientasi pada output dan
hasil akhir. Sementara itu, proses dan terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan
tidak dikembangkan danbahkan ditekan secara politis sehingga menjadi rentan
terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu
menjalankan fungsinya secara profesional.
Ketertinggalan pembangunan dalam sistem dan kelembagaan politik, hukum, dan sosial menyebabkan hasil
pembangunan menjadi timpang dari sisi
keadilan dan dengan sendirinya mengancam
keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri.
2.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter
yang berkembang menjadi krisis multi dimensi, yang selanjutnya berdampak pada
perubahan (reformasi) diseluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi tersebut memberikan semangat
politik dan cara pandang baru sebagaimana
tercermin pada perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan substansial
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait
dengan perencanaan pembangunan adalah (a)
Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan
Garis-garis Besar HaluanNegara (GBHN); (b) Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan (c) desentralisasi dan
penguatan otonomi daerah.
3.
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan
tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan
datang. Pemilihan secara langsung
memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calonWakil Presiden untuk
menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye. Keleluasaan tersebut
berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan
pembangunan dari satu masa jabatan Presiden danWakil Presiden ke masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden berikutnya. Desentralisasi
dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi
antara daerah yang satu dengan daerah
yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.
4.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa
sepakat menetapkan system perencanaan
pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (UU SPPN) yang didalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20
tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
5.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan
mempertimbangkan perubahan-perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diperlukan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka
mencapai tujuan dan cita –cita bernegara
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu (1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan (4) ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan
tujuan pembangunan nasional tersebut
perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan
jangka panjang Indonesia.
6.
Berbagai pengalaman yang didapatkan
selama 60 tahun mengisi kemerdekaan
merupakan modal yang berharga dalam melangkah ke depan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional
secara menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam lampiran UU No. 17/2007 tersebut
terdapat beberapa point penting dalam pembangunan hukum nasional diantaranya:
1.
Kondisi umum pembangunan di bidang hukum
adalah : Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama,
pembangunan substansi hukum, baik hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis telah
mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan
aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dengan
ditetapkannya undang-undang tersebut,
proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan
koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif
terus dilanjutkan. Perubahan keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan
mendasar di bidang kekuasaan kehakiman
dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku
hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan
bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan
beralihnya kewenangan administratif,
organisasi, dan keuangan lembaga peradilan
kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan
dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi
keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan control terhadap kemandirian
lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum
nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum
dapat dilakukan secara lebih efektif dan
efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran
hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang
dicita-citakan.
2.
Tantangan ke depan di dalam mewujudkan
sistem hukum nasional yang mantap adalah
mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin
tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran.
3.
Arah Reformasi hukum yaitu Pembangunan
hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia
usaha dan dunia industri; serta menciptakan
kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk
menghilangkan kemungkinan terjadinya
tindak pidana korupsi serta mampu menangani
dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi,korupsi,
nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap
memerhatikan kemajemukan tatanan hukum
yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan
perlindungan hukum, penegakan hukum dan
hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan
dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib,teratur, lancar, serta
berdaya saing global.
Lebih lanjut dalam UU No. 17/2007
disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan Indonesia yang Demokratis berlandaskan
hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan
pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan
memaksimalkan potensi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi dalam penyelenggaraan negara.
Hukum pada dasarnya bertujuan
untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta
memastikan terlaksananya keadilan untuk
semua warga negara tanpa memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun
gender. Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan
keterjaminan hak-hak dasar masyarakat
secara maksimal.
Pembangunan hukum
diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada
Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup
pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana
hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang
tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum serta penciptaan kehidupan masyarakat
yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan
hukum dengan tetap meperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh
globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum,
penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka
penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan
pembangunan nasional akan makin lancar.
Pembangunan materi
hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan
peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai
sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya
kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada
Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup
perencanaan hukum, pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum. Di
sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan
hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah.
Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan
dengan memerhatikan berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat
sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara
terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan sehingga produk hukum yang
dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman.
Pembentukan hukum diselenggarakan
melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menghasilkan produk hukum
beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan
didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi
dan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua
aspek kehidupan sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan
dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat
ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan
hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen lembaga terkait, baik di
dalam maupun di luar negeri.
Pembangunan struktur
hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan
lembaga hukum, profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum
dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem
pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap
perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum yang menunjung
tinggi kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme, serta bertanggung jawab dalam bentuk perilaku yang
teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional
perlu didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai serta diperbaiki
kesejahteraannya agar di dalam melaksanakan
tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan baik dan terhindar
dari pengaruh dan intervensi pihak-pihak dalam bentuk korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Penerapan dan penegakan
hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas, profesional,
dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan kebenaran, terutama dalam penyelidikan,
penyidikan, dan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan
tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta
memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Penegakan hukum dan
hak-hak asasi manusia (HAM) dilakukan terhadap berbagai tindak pidana, terutama
yang akibatnya dirasakan langsung oleh masyarakat luas, antara lain tindak
pidana korupsi, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka
menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penegakan hukum di
laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan kewenangan yang
diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Pemantapan
lembaga peradilan sebagai implikasi satu atap dengan lembaga Mahkamah Agung
secara terus-menerus melakukan pengembangan lembaga peradilan; peningkatan
kualitas dan profesionalisme hakim pada semua lingkungan peradilan; dukungan
serta perbaikan sarana dan prasarana pada semua lingkungan peradilan sehingga
dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan
sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
Peningkatan perwujudan
masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan
lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai
proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap
anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga
negara. Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang
mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang
mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan bantuan
hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan penetapan
putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Perbandingan
Arah Kebijakan Pembangunan Hukum dalam GBHN dan RPJPN[18]
Arah kebijakan
pembangunan hukum dapat dipahami dengan lebih baik jika menggunakan pendekatan
teori sistem hukum.Gagasan mengenai sistem hukum yang jamak diadopsi dari
Lawrence M. Friedman. Bahwa terdapat tiga komponen yang terdapat dalam sistem hukum,
yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum (Achmad Ali,2009).
Rumusan arah kebijakan
yang termuat dalam 7 (tujuh) GBHN masa sebelumamandemen UUD Tahun 1945, yang
secara umum menghendaki bidang hukum sebagai bagian dari sistem pembangunan
nasional, dengan menempatkan bidang hukum sebagai pendukung dari sistem
pembangunan yang diselenggarakan pemerintah. Dalam 3 (Tiga) GBHN pertama masa
orde baru bidang hukum merupakan bagian dari bidang lainnya seperti bidang politik
dan pemerintahan, mengindikasikan keberadaan hukum merupakan sub dari sistem pembangunan
nasional, yang dalam setiap GBHN selalu menitikberatkan pada pembangunan bidang
ekonomi. Eksistensi pembangunan hukum senantiasa diharapkan sebagai pendukung penting
dari proses pembangunan nasional, baik dalam konteks pembuatan peraturan perundangan-undangan,
pemberdayaan aparatur hukum dan penegakan hukum.
Rumusan arah kebijakan
pembangunan hukum dalam RPJPN, terdiri atas beberapa komponen kebijakan, yakni
komponen umum, rumusannya menyatakan pembangunan hukum diarahkan pada makin
terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada pancasila dan UUD
Tahun 1945. Komponen Materi hukum,
terdiri atas beberapa rumusan yakni:
(1).
diarahkan untuk melanjutkan pembaharuan
hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial, yang
mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum dan pengembangan hukum, dan;
(2).
pembentukan hukum diselenggarakan
melaluiproses terpadu dan demokratis, sehingga menghasilkan produk hukum
beserta peraturanpelaksanaan dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan
hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Refleksi
Pembangunan Hukum Setelah Sepuluh Tahun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025
Bila dilihat dari sisi
isi maksud dan tujuan dari pembentukan RPJPN 2005-2025 mendorong pembangunan
hukum nasional menuju ke wujud struktur, substansi dan kultur hukum yang sesuai
dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hukum
nasional diarahkan pada pembaharuan hukum melalui perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum dengan mendorong tumbuhnya
kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional. Namun pada kenyataannya
wujud hukum nasional belum sesuai dengan harapan yang tertuang dalam RPJPN
2005-2025.
Ada beberapa alasan
yang menyebabkan hal diatas diantaranya kita bisa simak kajian Jeremy Bentham mengenai
pembuatan hukum sudah ke luar dari analisis teknis legislasi kepada
pembahasannya di dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih besar.
Ukuran-Ukuran serta format yang digunakan juga bukan lagi semata-mata
rasionalitas, logika, prosedur dan yang sebangsanya, melainkan entri-entri
sosiologis. Kedalam entri tersebut dimasukan masalah:[19]
1.
asal-usul sosial undang-undang
2.
mengungkap motif di belakang pembuatan
undang-undang
3.
melihat pembuatan undang-undang sebagai
endapan konflik kekuatan dan kekuatan dalam masyarakat
4.
susunan dari badan pembuat undang-undang
dan implikasi sosiologisnya
5.
membahas hubungan antara kualitas dan
jumlah undang-undang yang dibuat dengan lingkungan sosial dalam suatu periode
tertentu
6.
sasaran perilaku yang ingin diatur atau
diubah
7.
akibat-akibat baik yang dikendaki maupun
yang tidak.
Selain pendapat Jeremy
Bentham ada baiknya kita simak pendapat prof. Satjipto Rahardjo bahwa badan
pembuat undang-undang tidak tidak lagi kita lihat sebagai pabrik undang-undang
atau hukum, melainkan merupakan medan dimana berlaga berbagai kepentingan dan
kekuatan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka badan pembuat
undang-undang juga akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan
tersebut. Sistem demokrasi menyalurkan melalui sistem perwakilan dan pemilihan
umum. Kecenderungan pemikiran, pendidikan, asal-usul sosial dan lain-lain dari
para anggota badan pembuat undang-undang akan turut menentukan undang-undang
yang dibuat.[20]
Setelah kita menyimak
dua pendapat diatas maka dapat dimaklumi kenapa sasaran pembangunan yang
tertuang dalam RPJPN belum tercapai karena pembangunan hukum tidak hanya
menyangkut soal teknis pembuatan undang-undang namun ada faktor lain yang lebih
dominan dalam pembuatan undang-undang yaitu kekuatan sosial dan politik.
Kekuatan elit politik yang kuat dalam pembuatan perundang-undangan ditambah
dengan kekuatan people power yang tidak dapat dianggap remeh menjadi penentu
arah pembangunan hukum nasional. Sudah barang tentu semua kekuatan politik yang
ada mempunyai pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda dalam menentukan arah
dan tujuan suatu undang-undang dibentuk.
Dengan masih berlakunya
KUHP dan KUH Perdata menandakan bahwa wujud hukum nasional yang dicita-citakan
dalam RPJPN masih jauh panggang dari api. RUU KUHP yang telah ada sejak 1964
yang sampai saat ini masih belum juga menjadi Undang-Undang ada beberapa
alternatif jawaban untuk menjawab mengapa hal ini terjadi diantaranya ada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan status quo, tidak ada titik temu diantara
berbagai kelompok yang berkepentingan dengan hukum pidana, yang terakhir adalah
adanya ketidakmampuan dan ketidakmauan anggota DPR dalam membahas dan
menggolkan RUU KUHP karena banyaknya pasal dalam RUU KUHP yang membutuhkan
kemampuan mumpuni di bidang hukum dalam pembahasannya.
Satjipto Rahardjo
mengatakan “sesungguhnya sistem hukum kita adalah sistem yang dicangkok dari
luar (imposed from outside) bangsa Indonesia memiliki kosmologinya tersendiri,
berbeda dengan kosmologi barat yang kemudian melahirkan hukum yang
liberal-individualistis. Dalam tipe hukum liberal, maka tugas penting hukum
adalah untuk menjaga dan menyelamatkan individu…”[21]
Lebih lanjut menurut Satjipto
“…waktu sepuluh tahun bagi Indonesia tidak cukup. Bahkan hanya untuk menjadikan
seluruh peraturan perundang-undangan menjadi hukum nasional. Reformasi hukum
harus bersaing dengan reformasi-reformasi bidang-bidang kehidupan yang lain.
Disini biasanya hukum dikalahkan oleh kebutuhan fisik yang dirasakan lebih
mendesak, seperti ekonomi dan kesehatan”[22]
Dalam era reformasi
sering kita dengar slogan hukum yang menjadi panglima, namun bila kita lihat
kenyataan hukum bukan menjadi yang utama dalam pembangunan nasional,
sektor-sektor fisik masih mendominasi sehingga hukum tersisihkan. Walaupun
demikian perlu kita apresiasi bahwa di era reformasi bidang hukum menjadi lebih
baik dari era sebelumnya.
Para anggota MPR
periode 1999-2004 yang telah melakukan perubahan hingga empat kali memang
dilakukan tanpa grand design.
Akibatnya, lahir suatu undang-undang dasar yang tidak sesuai dengan keadaan dan
kehendak rakyat.[23]
Dalam UUD pasca amandemen tidak jelas wujud sistem ketatanegaraan kita seperti
sistem pemerintahan presidensial yang tidak konsisten sehingga banyak yang
mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita adalah presidensial dengan cita rasa
parlementer. Dan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan hak asasi manusia kita
lihat hanya copy paste prinsip Declaration of Human Rights hal ini sebenarnya tidak
bertentangan dengan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung dalam
Declaration of Human Rights adalah nilai-nilai universal kemanusiaan yang
sejalan dengan nilai-nilai pancasila, dan copy paste prinsip Declaration of
Human Rights juga tidak salah karena memang dalam konstitusi harus memuat
hak-hak asasi manusia untuk mencegah kesewenang-wenangan oleh negara.
Pencantuman HAM dalam UUD merupakan tanda keberhasilan suatu perubahan politik,
dalam hal ini reformasi, yakni politik birokratik-otoritarian atau bureaucratic
polity (menurut Karl Jackson dalam tulisannya New Order: The Prospeck For
Political Stability) menjadi politik demokrasi, yang secara teoritis melindungi
HAM.[24]
Yang menjadi masalah adalah ketidak cermatan para anggota MPR dalam memasukan
ketentuan HAM dalam amandemen UUD yaitu terdapat pengulangan ketentuan HAM
dalam UUD 1945 pasca amandemen. Hal ini terlihat sebagai berikut: Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28 (D) ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28J ayat (1) pasal pasal
tersebut mempunyai kesamaan dalam pengakuan bahwa setiap negara
Selain itu hukum
sebagai produk dari proses politik sehingga dinamika perkembangan wujud hukum
nasional turut dipengaruhi oleh dinamika politik, sehingga tidak mengherankan
pembentukan hukum diera reformasi syarat dengan kepentingan politik, maka tidak
mengherankan banyak undang-undang yang dihasilkan dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi melalui prosedur judicial
review.
Perlu perbaikan sistem
ketatanegaraan terlebih dahulu melalui perubahan undang-undang dasar. Penegasan
sistem presidensial dalam UUD 1945 harus menjadi agenda utama dalam perubahan
UUD disamping penataan lembaga kenegaraan lainnya untuk memperkuat sistem
ketatanegaraan kita. Selain itu seperti ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang
banyak pengulangan dan beberapa ketentuan dalam UUD yang tidak efisien dalam
penggunaan kata harus ditata agar UUD terlihat sebagai UUD yang bermartabat dari
sisi tata bahasa sehingga dapat menghilangkan kesan UUD yang asal jadi dan
tanpa grand desaign.
Setelah penataan UUD
yang diperlukan adalah kedewasaan berpolitik baik dari elit politik maupun dari
masyarakat umum. Rakyat harus dewasa dalam memilih wakil-wakil rakyat di
lembaga legislatif sehingga produk legislasi yang dihasilkan berkualitas. Mengenai
wacana sebagian kalangan yang menghendaki kembalinya konsep GBHN dalam
perencanaan pembangunan nasional, menurut kami hal itu tidak sesusai dengan
perkembangan tata negara Indonesia dewasa ini.
Ketiadaan GBHN
pasca-amandemen UUD 1945 tidak berarti ketiadaan arah penyelenggaraan negara,
mengingat UUD tersebut juga memuat beberapa arahan politik dan konstitusi dalam
penyelenggaraan negara (misalnya bab HAM, agama, pendidikan, kebudayaan, ekonomi
dan kesejahteraan sosial, keamanan nasional).[25]
Mahkamah Konstitusi yang
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar peranannya
sangat penting dalam penataan hukum nasional khususnya penataan undang-undang
agar sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Agung yang
berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang juga
memiliki peran dalam mewujudkan hukum nasional yang terintegrasi, Kementerian
Dalam Negeri yang diberi kewenangan dalam meng-executive review peraturan
daerah sehingga diharapkan tidak ada peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia yang saling bertentangan dan dapat dijadikan sarana mencapai
cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebelum amandemen UUD
1945 arah pembangunan nasional dipandu oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN), dalam GBHN pembangunan hukum diarahkan sebagai pendukung terciptanya
pembangunan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan hukum bukan sebagai panglima
tetapi kepentingan ekonomi yang menjadi panglima.
Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menghapus Garis-Garis Besar Haluan Negara tidak dapat dijadikan
alasan untuk membenarkan hilangnya arah pembangunan nasional karena pada
dasarnya undang-undang dasar adalah arah panduan bagi pembangunan nasional.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional dijadikan penganti GBHN yang bentuknya berupa undang-undang
diharapkan dapat memandu pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Namun kenyataannya hukum
nasional masih belum sesuai harapan karena berbagai macam masalah mulai dari
struktur hukum, materi hukum, dan budaya hukum.
B.
SARAN
Diperlukan suatu
perbaikan yang terstuktur mulai dari penataan ketatanegaraan Indonesia melalui
perubahan UUD 1945 yang dilakukan dengan grand
desaign yang jelas sehingga kerancuan dalam undang-undang dasar dapat
dihindari.Selain itu perlu kesadaran elit politik dalam pembentukan hukum nasional
agar lebih mementingkan kepentingan nasional daripada kepentingan politik dan
golongan dan yang tak kalah penting adalah pendidikan politik rakyat agar
cerdas dalam memilih wakil rakyat, presiden dan kepala daerah yang berkualitas.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar harus diisi oleh negarawan yang memiliki integritas dan
kemampuan hukum tata negara yang baik agar menghasilkan keputusan yang baik dan
berkeadilan sehingga wujud hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dapat terwujud.
[1]
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm. 58-59.
[2]
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 21.
[3]Ibid.
Hlm. 23.
[4]http://indonesia-berjuang.blogspot.com/2005/12/md-kartaprawira-pembunuhan-kekuasaan.html
diakses 27 September 2014
[5] Krisna
Harahap, Konstitusi republik Indonesia
Menuju Perubahan Ke-5, PT Grafitri Budi Utami, Bandung, 2009.
[6]http://www.transparansi.or.id/wp-content/uploads/1999/12/kajian11.html
diakses 26 September 2014
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]Syafruddin
Muhtamar, dkk, (Jurnal) Relevansi
Perencanaan Pembangunan Nasional Dengan Amanat Konstitusi (Studi Tentang
Perbandingan Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Dalam GBHN DAN RPJPN),
Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar.
[10]http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/dinamika-pembangunan-hukum-di-indonesia.html diakses 26
September 2014
[11]Krisna
Harahap, Konstitusi Republik Indonesia
Menuju Perubahan Ke-5, PT Grafitri Budi Utami, Bandung, 2009, hlm. 56
[13]
Ibid.
[14]
Krisna Harahap, Op Cit. Hlm. 65
[15]Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 375
[16]Ibid.
hlm. 376
[17]Ibid,
hlm. 373.
[18]
Syafrudin Muhtamar, Op Cit.
[19]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Hlm. 137
[20]
Ibid. Hlm. 139
[21]
Satjipto Raharjo, Sosiologi hukum Esai-Esai Terpilih, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010. Hlm. 125.
[22]
Ibid, Hlm. 126
[23]
Krisna Harahap, Op Cit, Hlm. xii
[24]
Ibid. Hlm 163
[25]
Krisna Harahap, Op Cit, Hlm. 114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar